Metroterkini.com - Pada gelaran piala dunia 2022 yang berlangsung di Qatar, timnas Kroasia sukses meraih peringkat ke-3 setelah mengalahkan tim penuh kejutan Maroko dengan skor tipis 1-2. Meskipun mengalami penurunan daripada edisi 2018 saat mereka menjadi finalis, akan tetapi hasil tersebut masih sangatlah membanggakan untuk sebuah negara yang baru sekitar 30 tahun lalu merdeka.
Prestasi ini sekaligus mengulang kesuksesan mereka pada tahun 1998 saat piala dunia di Prancis. Saat itu timnas Kroasia sukses menjadi juara ke-3 saat mengikuti piala dunia untuk kali pertama. Tentunya hal tersebut merupakan prestasi yang luar biasa bagi negara yang melakukan debut di piala dunia kala itu. Memang bisa dibilang Kroasia saat itu dihuni bintang-bintang yang telah memiliki nama di dunia sepakbola seperti Davor Suker, Zvonimir Boban dan Slaven Bilic. Akan tetapi, status mereka yang sebagai negara debutan pasca merdeka di tahun 1991 memang membuat negara tersebut tampil menjadi kuda hitam saat piala dunia 1998.
Timnas yang Lahir dari Konflik
Perkembangan sepakbola Kroasia memang tidak bisa dilepaskan dari konflik yang melanda Yugoslavia sejak akhir dekade 80-an hingga 90-an. Saat itu memang Yugoslavia sedang diambang perpecahan yang dipicu oleh permasalahan politik dan etnis. Melansir sebuah artikel dari tirto.id yang berjudul “Keajaiban dan Kepahitan Sepakbola Kroasia”, saat itu Kroasia menjadi area konflik antara pihak pro kemerdekaan dan pihak Serbia yang disokong oleh Yugoslavia. Seiring berjalannya waktu memang kondisi perpolitikan tersebut menjalar ke ranah sepakbola. Bahkan, hal ini tersirat saat klub-klub yang bermarkas di Serbia ketika bertandang ke klub-klub yang bermarkas di wilayah lain di Yugoslavia.
Para suporter garis keras tersebut seringkali menyuarakan propaganda dan provokasi yang menyebut etnis Serbia lebih unggul dan superior daripada etnis lainnya yang berada di Yugoslavia. Sontak hal ini tidak jarang menimbulkan kericuhan antar suporter dalam pertandingan, bahkan seringkali melibatkan pemain yang berbeda haluan politik saat itu. Seiring berjalannya waktu pula, sepakbola di tanah Yugoslavia kemudian mengalami pergeseran sebagai alat-alat politik dan perjuangan identitas masyarakatnya. Meskipun negara Kroasia kini telah sepenuhnya merdeka, akan tetapi aroma sejarah konflik masa lalu masih seringkali teringat dalam ingatan sebagian orang yang berada dalam lingkup sepakbola. Bahkan, ketika melakoni laga derby dengan Serbia tidak jarang laga berlangsung ketat dan panas karena imbas dari konflik masa lalu.
Tumbuh Menjadi Negara Pecahan Yugoslavia Tersukses Hari ini
Timnas Kroasia bisa dibilang selalu memberikan kejutan di setiap event regional maupun dunia yang mereka ikuti sejak mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1991. Sejak keikutsertaanya pada kompetisi Euro di tahun 1996 dan piala dunia 1998, mereka selalu saja dianggap sebagai tim underdog yang dapat memberikan kejutan sewaktu-waktu bagi tim dengan tradisi juara lainnya di dunia.
Bahkan, hal tersebut seringkali menjadi kebanggaan tersendiri bagi Kroasia yang dianggap menjadi negara bekas pecahan Yugoslavia paling sukses di gelaran sepakbola internasional. Pada dua edisi piala dunia terakhir, yakni 2018 dan 2022 timnas Kroasia sukses menjadi runner-up dan juara ke-3. Tentunya hal tersebut bisa menjadi sesuatu yang mereka tunjukan bagi rival abadi mereka sekaligus penerus dari Yugoslavia, yakni Serbia yang belum mampu berbicara banyak setelah ikut serta dalam piala dunia 2010 dengan menggunakan nama Serbia.
Sejatinya dunia sepakbola di Kroasia merupakan sebuah perjuangan identitas tersendiri bagi etnis Kroasia dalam menentukan masa depannya. Tentu konflik-konflik di masa lalu hingga hari ini menjadi sebuah dinamika tersendiri bagi salah satu negara di kawasan Balkan yang hampir tidak pernah absen dalam memberikan kejutan dalam setiap kompetisi internasional yang mereka ikuti. [**suara]