Metroterkini.com - Komisaris sekaligus pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (PT AA), Frank Wijaya dan General Manager, Sudarso, jadi saksi untuk mantan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, Muhammad Syahril, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (8/5/2023).
Dalam kesaksiannya, Frank Wijaya dan Sudarso mengakui memberikan uang 112.000 Dolar Singapura kepada M Syahrir untuk memperlancar pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari di Kabupaten Kuantan Singingi.
Sudarso yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di hadapan majelis hakim yang diketuai Dr Solomo Ginting SH MH dengan hakim anggota Yuli Artha Pujoyotama SH MH dan Yelmi SH MH menyebut uang yang diserahkan bagian dari Rp3,5 miliar yang telah dijanjikan.
Uang itu diserahkannya kepada terdakwa di rumah dinasnya di Jalan Kartini Nomor 61 Kota Pekanbaru, Kamis (2/9/2021) sekira pukul 20.00 WIB.
"Terdakwa yang menerima langsung," ujar Sudarso, yang mengikuti sidang secara virtual dari Rutan Pekanbaru bersama Frank Wijaya.
Setelah menyerahkan uang itu, kemudian M Syahrir mengatakan akan menggelar ekspos pada tanggal 3 September 2021. Ekspos digelar di Hotel Prime Park, Kota Pekanbaru.
"Ya, memang benar. Setelah saya serahkan dana itu, kita akan melaksanakan ekspos kata terdakwa Pak," sebut Sudarso menjawab pertanyaan JPU, Rio Fandi.
Adanya pemberian uang kepada M Syahrir juga diakui oleh Frank Wijaya. Menurut Frank Wijaya, uang itu dikeluarkan dari brangkas salah seorang pemegang saham PT AA lainnya yakni Hadi Ngadiman.
Uang yang telah dikeluarkan Hadi untuk keperluan perpanjangan HGU itu sebesar SGD150.000. "Hadi Ngadiman itu salah satu pemegang saham Pak. Dia juga sepupu saya," kata Frank Wjaya.
Selain Frank Wijaya dan Sudarso, pada persidangan ini, JPU juga menghadirkan 7 orang saksi lainnya. Para saksi berasal dari pihak perusahaan.
Dalam perkara ini, JPU mendakwa M Syahrir dengan berlapis. Syahrir diduga menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya. Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) karena uang hasil korupsi itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset.
Tidak tanggung-tanggung, selama menjabat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau sejak Tahun 2017-2022, Syahrir telah menerima uang gratifikasi, yang keseluruhannya berjumlah Rp20.974.425.400.
Rincian gratifikasi yang diterima Syahrir, sebesar Rp5.785.680.400, saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp15.188.745.000 saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Riau.
JPU menyebut, uang itu diterima dari perusahaan-perusahaan/perwakilan perusahaan-perusahaan yang mengurus permohonan hak atas tanah, dari para pihak ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Kanwil BPN Provinsi Riau.
Uang miliaran itu kemudian dialihkannya ke rekening lain dan digunakan untuk membeli sejumlah aset. Diantaranya, sejumlah bidang tanah, rumah toko (Ruko), kendaraan dan lainnya.
Akibat perbuatannya itu, M Syahrir dijerat dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahub 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. **