Metroterkini.com - Ahli Hukum Lingkungan Universitas Airlangga Suparto Wijoyo menilai audit lingkungan hidup yang dilakukan Menteri LHK terhadap Wilayah Kerja Migas Blok Rokan merupakan audit lingkungan spesifik yang bahkan tidak ada diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun Peraturan Pemerintah tentang audit lingkungan.
Ia juga menyatakan, audit lingkungan spesifik itu hanya bisa dilakukan pascaoperasi suatu industri yang sudah berakhir masa operasinya. Sedangkan audit lingkungan sesuai Pasal 49 UU PPLH mesti dilakukan pada saat suatu industri masih beroperasi.
Hal tersebut diungkapkan Suparto dalam lanjutan persidangan Gugatan Lingkungan Hidup Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) terhadap PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), SKK Migas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, Selasa (19/7/2022) di PN Pekanbaru.
Sebagaimana terungkap dalam persidangan kasus itu, Audit Lingkungan Hidup oleh KLHK itu menjadi dasar adanya Head of Agreement (HoA) antara CPI dan Pemerintah Indonesia yang diwakili SKK Migas.
HoA itu nyatanya hanya membebankan kepada CPI untuk membayar sebesar US$265 juta saja untuk pelaksanaan pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat pencemaran limbah bahan berbahaya beracun (B3) Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) di WK Blok Rokan. Sedangkan sisa biaya pemulihan fungsi lingkungan hidup itu, menurut HoA, dibebankan kepada negara. Nilainya tak kurang dari US$1,7 miliar.
Audit Lingkungan Spesifik yang dibuat KLHK itu terungkap sebelumnya dilakukan pada tahun 2020 lalu. Sementara peralihan pengelolaan WK Migas Blok Rokan dari CPI ke PT Pertamina Hulu Rokan berlangsung 9 Agustus 2021 lalu.
LPPHI menyatakan bahwa pernyataan Suparto menjelaskan bahwa KLHK semestinya melakukan audit lingkungan sesuai Pasal 49 UU PPLH, dan sesuai Pasal 50 UU PPLH, menteri wajib mengumumkan hasil audit ke masyarakat. Hal tersebut menjadi salah satu sebab LPPHI mengajukan Gugatan ke PN Pekanbaru terhadap keempat tergugat.
Sementara itu, terkait asas strict liability dalam UU PPLH, Suparto malah menyatakan bahwa tetap harus ada pembuktian pelaku pencemaran untuk menentukan siapa yang bertanggungjawab atas pencemaran itu.
LPPHI menyatakan membantah keras pernyataan Suparto tersebut. LPPHI menyatakan, CPI selaku pemilik izin operasi migas di Blok Rokan wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup meski tidak tau siapa pelaku pencemaran di dalam area izin operasinya itu. LPPHI mengibaratkan, jika di dalam suatu pekarangan rumah ada sebuah bom atau barang berbahaya, apakah pemilik rumah dan pekarangan itu membiarkannya? Tentu tidak. Pemilik rumah dan pekarangan itu harus dan pasti membersihkanya. Begitu pula dalam hal pencemaran TTM di Blok Rokan ini.
LPPHI menyatakan, CPI sebagai pemegang izin industri Migas di dalam WK Migas Blok Rokan, wajib melakukan pemulihan tanpa harus dibuktikan dulu kapan terjadi dan siapa pencemar limbah TTM itu. Itu lah menurut LPPHI maksud dari asas strict liability itu.
Mengenai Perkara Gugatan Lingkungan Hidup ini, tercatat disidangkan di PN Pekanbaru dengan Nomor 150/PDT.G/LH/2021/PN.Pbr. Gugatan terdaftar pada 6 Juli 2021. Sidang dipimpin Hakim Ketua DR Dahlan SH MH.
Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) merupakan lembaga penggugat perkara ini. LPPHI dalam sidang kemarin diwakili empat kuasa hukum, Josua Hutauruk, S.H., Tommy Freddy Manungkalit, S.H., Supriadi Bone, S.H., C.L.A., dan Muhammad Amin S.H.
Sementara itu, PT Chevron Pacific Indonesia, SKK Migas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau merupakan para tergugat dalam perkara ini. [rls]