Metroterkini.com - Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon, menegaskan pihaknya tak akan membawa bukti dugaan kecurangan Pemilu 2019 ke MK. Ia mengaku kecewa terhadap MK. Sebetulnya, bagaimana pembuktian di depan 9 hakim konstitusi?
Direktur Pusako Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari akhir pekan lalu membeberkan pembuktian yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah.
"Kalau ternyata ada kecurangan pemilu dan harus mengubah hasil suara yaitu 15-20 juta suara milik yang kalah, bukan yang menang. Bagaimana cara membuktikannya? Perlu 100 ribu-200 ribu TPS untuk menyatakan telah terjadi kecurangan dengan selisih suara yang diambil oleh yang menang 100 suara per TPS," ujar Feri Amasri.
"Bagaimana ke MK membuktikan agar 100-200 ribu TPS dicurangi? Pasti berat sekali," sambung Feri yang juga disampaikan dalam seminar nasional 'Ancaman People Power Terhadap Demokrasi Konstitusional' yang digelar Puskapsi di Fakultas Hukum Universitas Jember, Sabtu (11/5) kemarin.
"Sedangkan video yang beredar, TPS yang direkam, jumlahnya dikapitalisasi di medsos seolah-olah sudah 100 ribu kecurangan. Apakah saya menyetujui kecurangan? Tidak. Kecurangan bisa dipidanakan pelakunya. Tapi suara yang berkembang, agar pemilu ini diulang. Kalau setiap orang yang kalah bisa menyatakan pemilu diulang, berbasis video tanpa diketahui TPS di mana, bisa gawat demokrasi," cetus Feri.
Bila masuk MK, maka akan diperiksa satu persatu oleh MK. Hakim konstitusi akan mengecek apakah benar ada 200 ribu TPS yang dicurangi. Feri mengandaikan, yang bisa dibuktikan hanya 10 ribu TPS, maka MK memutuskan agar pemerintah memproses pidana kecurangan di 10 ribu TPS. Adapun hasil akhirnya, MK tidak akan mengubah keputusan KPU.
"Karena 10 ribu yang terbukti itu tidak mengubah hasil. Siapa yang sadar betapa sulitnya mengubah konstruksi hukum ini? Pihak yang kalah. Sehingga mereka merasa nggak mungkin bisa membuktikan 100-200 ribu TPS di Mahkamah Konstitusi, itu berat. Kalau lah itu tergambar berat, ya sia-sia ke MK, sia-sia ke Bawaslu," papar Feri.
Karena perjuangan di MK sangat berat, maka jalur inkonstitusional akhirnya dilakukan dengan berbagai skenario.
"Sehingga perlu mengubah kekalahan jangan lewat cara konstitusional, manfaatkan kemarahan publik. Begitu publik marah, mudah terpancing," pungkas Feri. [dtk-din]