Metroterkini.com - Sidang dugaan pemalsuan tanda tangan Bupati Bengkalis dengan terdakwa Bukhari dan Muska Arya kembali digelar di Pengadilan Negeri Bengkalis, Rabu (6/12/17) siang, dengan agenda keterangan ahli.
Sebanyak tiga orang saksi ahli dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU), yakni Erdiansyah, SH, MH, ahli hukum Pidana dari Universitas Riau (UR), Dr Dudung Burhanudin (FKIP UR) ahli Bahasa, dan Kepala Sub Direktorat Forensik Polda Sumatera Utara, AKBP Ungkap Siahaan, S.Si
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Zia Ul Jannah dengan dua hakim anggota, Wimmi D Simarmata dan Aulia Fhatma Widhola, AKBP Ungkap Siahaan menerangkan, diatas surat yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Bengkalis ada pembesaran pada tanda tangan Bupati Bengkalis Amril Mukminin.
Surat izin prinsip tersebut rencananya akan dipergunakan PT. Bumi Rupat Indah (BRI) unruk pengembangan kawasan pariwisata di Pulau Rupat,
"Tanda tangan di scan, kemudian ditimpa (ada tarikannya double. Ini yang kita nilai ketidak wajaran saja," kata Ungkap Siahaan di Labkrim Forensik Polri membidangi dokumen dan uang palsu.
Namun demikian, saksi tidak bisa membuktikan apakah orang yang sama menanda tangani atau bukan.
Menurut saksi, hasil penelitian tanda tangan Amril Mukminin di Labkrim Forensik, dituangkan dalam bentuk surat.
"Tanda tangan Amril Mukminin, tidak dapat dikatakan identik atau tidak identik. Namun, terdapat ketidak wajaran. Karena ada double struk," tegas saksi.
"Ketidak wajaran itu, tidak bisa dikatakan tidak identik (asli), karena tanda tangan diatas scan," pungkasnya.
Usai mendengarkan keterangan ahli forensik, JPU kemudian menghadirkan Dr. Dudung Burhanudin, ahli bahasa. Namun, terjadi perdebatan antara JPU dengan kuasa hukum terdakwa Bukhari dan Muska Arya, yakni Khairul Majid, SH, dan Fahrizal, SH, terkait keterangan saksi ahli terhadap keterangan saksi korban (Amril Mukminin) yang belum pernah dihadirkan dipersiangan.
Untuk menjari solusi, majelis hakim kemudian menskor sidang beberapa menit. Ketika sidang dibuka kembali, JPU tidak malanjutkan keterangan ahli bahasa. Tapi, sebaliknya mendahulu ahli hukum pidana, Erdiansyah, SH, MH.
Erdiansyah dalam keterangannya mengatakan, dalam perkara ini (pemalsuan tanda tangan), saksi korban harus dihadirkan dipersidangan agar terangnya sebuah perkara.
Saksi juga memaparkan tentang perbedaan makna Pasal 263 ayat (1) 263 ayat (2) KUHPidana.
Menurut saksi ahli, pemalsuan surat ada dua; Membuat dan Memakai.
Pemalsuan isi surat dan material. Sementara dalam perkara yang menjerat terdawak Bukhari dan Muska Arya adalah pemalsuan material, yakni nama dan tanda tangan.
"Jadi disini yang dipalsukan bukan isi, tapi nama dan tanda tangan," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Riau itu.
Intinya, ungkap Erdiansyah, tanda tangan yang dibuat tanpa ada persetujuan yang bersangkutan itu namanya pemalsuan.
"Demikian juga, surat yang dibuat tanpa persetujuan yang bersangkutan ketika digunakan itu palsu," kata Erdiansyah.
Demikian juga dengan kerugian terhadap saksi korban. Diterangkan Erdiansyah, tidak ada kerugian dalam surat palsu atau pemalsuan tanda tangan, selama yang bersangkutan tidak merasa dirugikan
"Munculnya kerugian jika yang bersangkutan merasa dirugikan," tegasnya.
Dikatakannya, sebuah surat itu palsu karena isinya tidak yang sebenarnya, ungkap Erdiansyh menjawab pertanyaan majelis hakim.
Ditegaskan Erdiansyah, pemalsuan tanda tangan masuk ranah hukum formil. Bisa delik aduan, bisa delik biasa)
" Pemalsuan tanda tangan seorang pejabat, itu masuk delik biasa. Siapa saja bisa melaporkan," terangnya.
Ketika ditanya majelis hakim, sebelum tanda tangan bupati dipalsukan, dalam dokumen pengajuan izin prinsip yang diajukan PT. Bumi Rupat Indah (BRI), sudah terjadi pemalsuan tanda tangan. Dimann saksi Alfian Nur memalsukan tanda tangan Swaryanto Poen, Direktur PT. Bumi Rupat Indah (BRI).
Menurut Erdiansyah, pemalsuan itu tidak ada masalah sepanjang tidak ada yang merasa dirugikan dan dokumen tersebut tidak dipergunakan.
"Sepanjang yang bersangkutan tidak merasa dirugikan tidak ada masalah," jawab Erdiansyah.
Dengan surat tanda tangan Derektur BRI yang dipalsukan ini, kemudian terbit surat bupati yang ternyata tanda tanganya juga dipalsukan, tanya majelis hakim.
Berarti secara bersama-sama dan dengan sadar melakukan pemalsuan. Berarti ada pelaku utama lainnya.
"Seharusnya hulunya juga disidik, jangan hanya muaranya (pemalsuan tanda tangan bupati) saja," kata Erdiansyah tentang tak utuhnya perkara tersebut.
Ketika majelis hakim menanyakan apakah pelaku utama lainnya dan yang turut membantu yang terungkap dipersidangan bisa diproses hukum.
Menurut Erdiansyah bisa. Namun, tidak bisa disisipkan dengan perkara yang sudah masuk kepersidangan. Harus dengan LP baru tanpa ada yang melapor. Cukup dengan berita acara persidangan.
"'Kendati bukan delik aduan, cukup dengan berita acara persidangan bisa membuat laporan pengaduan (LP) baru, untuk memproses pelaku-pelaku lainnya," ujarnya.
Usai mendengarkan keterangan saksi ahli, majelis hakim menunda sidang dan akan dilanjutkan minggu depan dengan agenda masih keterangan saksi.
Namun, terkait LP baru berdasarkan fakta persidangan, JPU Andi Sunartejo seperti bekeberatan. "Perkaranya masalah tanda tangan bupati yang dipalsukan, bukan masalah dokumen PT. BRI. Selain itu, berita acara persidanganya yang mengeluarkan majelis hakim (pengadilan), bukan kita," kata Andi usai persidangan. [rdi]