Metroterkini.com - WhatsApp bikin geger. Jumat sore, 3 November 2017 layanan perpesanan milik Facebook itu menghentakkan penggunanya dari seluruh dunia lantaran 'down' atau mengalami gangguan. Dua hari kemudian, WhatsApp kembali membuat heboh, karena diduga memiliki konten pornografi.
Kejadian bermula pada Minggu, 5 November 2017. Konten mesum tersebut berupa gambar bergerak (Graphics Interchange Format/GIF) yang bisa diakses lewat salah satu fitur di WhatsApp.
Akses ini bisa dibuka oleh pengguna iOS, Android, maupun desktop/komputer jinjing. Tak pelak, hal ini membuat para orangtua khawatir dan Kementerian Komunikasi dan Informatika meradang.
Maka, selaku regulator internet dan telekomunikasi, Kominfo langsung menyurati 'empunya' WhatsApp, Facebook, sebanyak tiga kali untuk meminta penjelasan.
"Tanggal 4, 5, dan 6 November 2017. Kami ingin mereka men-take down. Selain itu, kami sudah melakukan pemblokiran terhadap enam DNS (Domain Name System) yang terkait dengan konten pornografi," kata Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan.
Ia membeberkan, keenam DNS yang diblokir adalah tenor.com, api.tenor.com, blog.tenor.com, qa.tenor.com, media.tenor.com, dan media1.tenor.com.
Sammy menuturkan, Tenor adalah pihak ketiga alias mitra WhatsApp yang menyediakan konten. Walau demikian, Kominfo tegas menginginkan agar layanan milik Facebook itu tidak boleh lepas tangan.
"Karena ada di dalam layanannya. Kami minta mereka jangan lepas tangan. Kami desak mereka untuk melakukan pembersihan. WhatsApp harus menaati apa yang diminta pemerintah Indonesia," ungkapnya.
Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, mengatakan, pemerintah harus bersikap tegas dan menekan WhatsApp agar bertanggung jawab. Menurutnya, layanan perpesanan itu tidak boleh seenaknya lepas tangan atas kasus ini.
"Pemerintah tegas lah. Sama Telegram bisa, masa tidak ke WhatsApp? Intinya, jangan tumpul ke atas tajam ke bawah. Jangan kepada yang bikin meme ditangkap, tapi pornografi lolos," kata Heru kepada dilansir viva, Senin malam, 6 November 2017.
Senada, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengaku prihatin atas dugaan tersedianya konten pornografi di WhatsApp.
Ketua KPAI, Susanto, khawatir jika konten-konten tersebut dapat dengan mudah diakses oleh siapa pun, tidak terkecuali anak-anak yang di era saat ini sudah banyak menggunakan telepon pintar (smartphone).
"Pembiaran anak-anak dekat dan dapat mengakses pornografi dengan mudah adalah bentuk pelanggaran terhadap Undang Undang Nomor 35/2014 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak," ungkapnya.
Untuk itu, dia melanjutkan, KPAI dalam waktu dekat akan mengundang manajemen WhatsApp guna menyamakan persepsi dalam memberikan proteksi terhadap anak.
Respons WhatsApp
Pihak WhatsApp kemudian merespons. Mereka menjelaskan konten GIF pada platformnya bukan dalam kendali sistem mereka, sebab konten itu merupakan layanan yang tersedia dari luar WhatsApp.
Mereka juga mengaku tidak bisa memonitor GIF di WhatsApp, karena konten tersebut memiliki enkripsi end-to-end. Dalam pernyataannya, WhatsApp bilang kalau mereka menggunakan database GIF milik Giphy dan Tenor.
Giphy adalah layanan yang menjadi favorit banyak pengguna GIF di dunia maya. Database GIF yang ada di Giphy juga sangat besar.
Banyaknya database GIF itu bisa dimungkinkan karena platform Giphy mempunyai banyak alat untuk membuat konten GIF. Celakanya, konten-konten tersebut belakangan memang digandrungi banyak pengguna internet.
Kendati demikian, WhatsApp mengatakan bahwa mereka siap untuk memantau konten yang disediakan oleh mitra mereka.
"Kami telah berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia untuk secara langsung bekerja sama dengan layanan pihak ketiga tersebut dalam memonitor konten mereka," bunyi keterangan resmi WhatsApp.
Semuel Abrijani Pangerapan melanjutkan, Kominfo tidak ragu untuk memblokir WhatsApp.
"Mereka jangan lepas tangan dan harus ditindaklanjuti. Dalam 2 x 24 jam setelah notice tidak ada respons, atau Rabu, 8 November mendatang, kami akan men-telegram-kan (melakukan blokir)," tutur Sammy.
Terkait mesin sensor, ia menegaskan bahwa mesin bersistem crawling ini ditargetkan untuk menangani secara masif situs-situs porno yang saat ini diperkirakan sekitar 28-30 juta situs di dunia siber.
Ia mengatakan, dari sekitar 28-30 juta situs porno tersebut di dunia, saat ini Kominfo baru bisa menapis lebih dari 700 ribu situs, karena selama ini masih menggunakan sistem manual.
"Saya mengatakan kalau ini mesin pencari, bukan mesin sensor. Untuk sensor tetap kami lakukan melalui DNS dan memakai bantuan operator. Mesin dengan sistem crawling akan jauh mempercepat upaya penanganan konten pornografi," ujar Sammy.
Mesin tersebut direncanakan mulai beroperasi pada Januari 2018.[*]