Metroterkini.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai Presiden Joko Widodo telah menerima suap, jika sesuai aturan dalam pasal 12C ayat (2). Sebab cenderamata yang diterima Jokowi baru dilaporkan sudah melewati waktu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Fahri, berdasarkan pasal 12B ayat (1), pemberian itu bisa dikategorikan sebagai suapyang menyerahkan barang gratifikasi dari sebuah perusahaan minyak Rusia Rosneft Oil Company ke Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pencitraan belaka.
Lebih parahnya lagi, menurut Fahri, penyerahan barang gratifikasi yang dilakukan Jokowi demi citra positif.
"Harusnya yang namanya cendera mata dari negara sahabat itu biasa saja, dari zaman Soeharto juga begitu. Hadiah tersebut bisa dimasukkan ke museum. Tapi karena maunya pencitraan malah jadi blunder," kata Fahri saat dihubungi, Sabtu (29/10/2016).
Menurut Kepala Sekretariat Presiden Darmansjah Djumala, barang itu diterima usai Presiden melakukan kunjungan kerja ke Rusia pada 19-20 Mei 2016 lalu. Barang diberikan melalui PT Pertamina. Namun, Jokowi baru melaporkan gratifikasi itu pada Jumat (28/10/2016) kemarin.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, barang gratifikasi harus dikembalikan paling lambat 30 hari setelah diterima.
Aturan itu tepatnya diatur dalam pasal 12C ayat (2). Jika lewat batas waktu, lanjut Fahri, maka berdasarkan pasal 12B ayat (1), pemberian itu bisa dikategorikan sebagai suap.
"Jokowi akan bermasalah jika KPK konsisten dengan sikapnya untuk memberantas korupsi dan tidak pandang bulu," ujar Fahri.
Fahri pun mempertanyakan sikap KPK yang menerima saja laporan gratifikasi itu. Harusnya, kata dia, KPK bisa proaktif dan menyelidiki lebih jauh kenapa barang tersebut baru dilaporkan setelah lebih dari satu bulan.
"Jangan karena pameran pencitraan, maka hukum dihentikan. Kalau mau tegakkan hukum ayo kita tegakkan hukum," ucap Fahri. [**]