Metroterkini.com - Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldy Jusman, Selasa (5/4) pagi, mendatangi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Kedatangan politisi dari Fraksi Partai Demokrat tersebut untuk melaporkan persoalan atau polemik seputar penganggaran dana pembayaran utang eskalasi Pemprov Riau sebesar Rp220 miliar dalam APBD Perubahan 2015.
“Saya melaporkan masalah dana eskalasi untuk menjernihkan atau membuktikan tidak menerima dana eskalasi yang selama ini dituduhkan oleh sejumlah anggota Dewan kepada saya," ujar Noviwaldi atau biasa disapa Dedet.
Tiba di KPK pukul 11.00 WIB, Dedet mengaku diterima oleh Waldes di bagian pengaduan. Sekitar 20 menit kemudian, Dedet kembali meninggalkan gedung KPK dengan membawa tas ransel yang sama.
Saat melaporkan ke KPK, Dedet membawa dokumen-dokumen dalam tas ransel. Dokumen itu berupa notulen rapat Banggar dari awal sampai akhir, rekaman rapat Banggar dari awal sampai akhir, tandatangan nota kesepakatan DPRD Riau Kebijakan Umum Anggaran Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) Perubahan 2015, Berita Acara Paripurna, persetujuan hasil evaluasi gubernur yang ditandatangani oleh seluruh fraksi dan semua dokumen pendukung dan dokumen dalam bentuk CD atau cakram padat.
Usai melapor ke KPK, Dedet mengatakan terpaksa melaporkan dana eskalasi ke KPK karena belakangan banyak tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya telah menerima dana eskalasi. Dana eskalasi ini begulir di DPRD Riau, setelah anggota dewan mengajukan hak angket untuk mempertanyakan prihal masuknya anggaran pembayaran hutang daerah sebesar Rp220 miliar di APBD Perubahan 2015. Padahal anggaran tersebut sempat ditolak pada pembahasan di Badan Anggaran (Banggar).
“Saya menyayangkan atas tuduhan rekan-rekan, karena selama ini saya selalu merekam setiap rapat-rapat anggaran dan rapat secara terbuka," katanya.
Dedet menegaskan sejatinya dirinya berkeingin merubah paradigma lama di kalangan legislator provinsi Riau dan tidak terjadi lagi permasalahan hukum. Namun Dedet tidak menduga rekannya di DPRD tidak menyambut positif langkahnya yang ingin melakukan perubahan. Padahal sesuai kesepakatan awal menjadi pimpinan DPRD Riau, ingin DPRD Riau menjadi lembaga yang bersih dan terhindar dari masalah hukum seperti periode sebelumnya.
“Kami awalnya berkomitmen menjadikan lembaga DPRD sebagai lembaga terhormat. Tapi ternyata saya menghadapi tantangan yakni adanya kecurigaan pada unsur pimpinan," katanya seraya berharap usai melapor dana eskalasi, KPK dapat memberikan pembuktian bahwa dirinya bersih alias tidak terbukti menerima dana eskalasi tersebut.
Menyinggung keinginan sejumlah inisiator Hak Angket, Dedet sangat mendukung hak angket tersebut. Menurutnya hak angket merupakan hak anggota untuk mendapatkan kejelasan sepanjang memenuhi unsur yang diatur peraturan perundangan sedikitpun tak ada saya halang halangi.
Menyoal permintaan rekan-rekan inisiator DPRD Riau untuk meminta KPK datang ke DPRD Riau, Dedet menegaskan dirinya mengambil inisiatif untuk terlebih dulu melaporkan masalah dana eskalasi itu ke KPK dibanding KPK yang mendatangi lembaga DPRD Riau.
Langkah Dedet mendatangi dan menyerahkan sejumlah dokumen ke KPK, tergolong berani dibandingkan sejumlah inisiator angket. Pasalnya selama ini belum pernah satu pun legislator dari Bumi Lancang Kuning yang berani melaporkan atau menyerahkan sejumlah dokumen ke komisi anti rasuah tersebut jika menemukan masalah yang menjadi polemik di internal DPRD Riau.
Tak banyak yang tahu akan bergulir kemana masalah dana eskalasi di DPRD Riau ini. Ibarat sepakbola, apakah menjadi "bola liar" atau " atau "umpan manis" yang akan disambut KPK, sebaiknya publik di Riau menunggu dengan sabar tindaklanjut dari KPK setelah menerima laporan dari Dedet, salah satu pendiri Partai Demokrat itu. [**arjuna]