Metroterkini.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2023 dirancang fleksibel guna mengelola gejolak perekonomian dan ketidakpastian global yang masih membayangi.
Dengan demikian artinya APBN 2023 tetap menjadi shock absorber dalam meredam gejolak eksternal, termasuk tekanan inflasi tinggi dan risiko geopolitik yang ditimbulkan dari perang Rusia vs Ukraina.
"Desain APBN 2023 harus senantiasa "Waspada, Antisipatif, dan Responsif" terhadap berbagai kemungkinan skenario yang bergerak sangat dinamis dan berpotensi menimbulkan gejolak," tegasnya dalam pidato pemaparan RUU APBN 2023 dan nota keuangan, Selasa (16/8/2022).
Seraya mengelola APBN 2023 yang fleksibel, pemerintah tetap dimandatkan untuk mengembalikan defisit anggaran menjadi 3 persen pada tahun depan.
Pada April 2020, melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020, batasan defisit fiskal diperbolehkan melewati batasan 3 persen hingga 2022. Target ini pun diundangkan dalam UU 2 tahun 2020.
Diketahui, dengan UU tersebut, defisit Indonesia pada tahun 2020 melebar ke 6,14% terhadap PDB dan 2021 turun menjadi 4,65%. Lalu di 2022 ditargetkan bisa turun 3,94% dan 2023 kembali di bawah 3%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah akan menjalankan amanat UU 2 tahun 2020 tahun depan.
"Indonesia dianggap exceptional, karena kita dalam tiga tahun sudah bisa membuat langkah-langkah agar APBN mengalami soft landing," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers RAPBN 2023 dan Nota Keuangan, Selasa (16/8/2022).
Untuk menjaga kredibilitas anggaran, serta mengelolanya agar tetap fleksibel, antisipatif dan responsif sesuai amanat Presiden, Sri Mulyani telah menyiapkan beberapa kuncian dalam RAPBN 2023 yang segera disahkan.
1. Burden Sharing dengan Pemda
Pemerintah pusat telah menyiapkan pengaturan khusus anggaran dalam keadaan darurat dengan skema burden sharing bersama pemerintah daerah.
Strategi ini tertuang dalam RUU APBN Tahun Anggaran 2023 pasal 19.
"Dalam kondisi tertentu pemerintah dapat memperhitungkan presentasi tertentu atas peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi terhadap kenaikan PNBP Sumber Daya Alam yang dibagihasilkan," ungkap draf RUU tersebut.
Skema berbagi fiskal antar pusat dan daerah ini akan memperhitungkan PNBP atas hasil alam, dengan kondisi tertentu, yaitu kenaikan PNBP sumber daya alam, realisasi PNBP dan kebijakan peningkatan belanja subsidi.
Adapun, persentase ketentuan atas peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi terhadap kenaikan PNBP Migas SDA yang dibagi hasilkan akan diatur dengan peraturan Menteri Keuangan.
2. Tidak Ada Belanja PEN
Pada tahun 2023, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah dipastikan tidak akan melanjutkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Dana PEN 2023 tidak ada lagi karena sudah selesai berdasarkan UU No.2 atau Perpu 1/2020. Jadi semuanya sekarang masuk di belanja K/L dan TKDD regular," ujar Sri Mulyani.
Lantas, bagaimana dengan nasib anggaran kesehatan di tengah status pandemi yang belum dicabut?
Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah akan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp169,8 triliun atau 5,6% dari total belanja. Adapun, rinciannya, belanja kementerian dan lembaga (K/L) Rp104,8 triliun dan non-K/L Rp15,9 triliun, sementara TKDD sebesar Rp49,1 triliun.
Fokus anggaran diarahkan untuk penguatan layanan kesehatan primer, peningkatan layanan kesehatan sekunder dan penguatan inovasi serta teknologi kesehatan.
Jika dilihat besaran anggaran kesehatan pada 2023 ini jauh dibandingkan dengan dana PEN pada 2022 sebesar Rp455,62 triliun. Pada 2021, anggaran PEN mencapai Rp699,43 triliun dan Rp579,78 triliun pada 2020.
Dengan tidak adanya PEN tahun ini, maka pemerintah bisa berhemat lebih besar sehingga normalisasi defisit kembali di bawah 3 persen bisa tercapai.
3. Subsidi Solar Naik
Dalam RAPBN tahun 2023, subsidi energi direncanakan sebesar Rp210.665,4 miliar, terdiri atas subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg sebesar Rp138.335,9 miliar dan subsidi listrik sebesar Rp72.329,6 miliar.
Besaran subsidi ini jauh lebih kecil dari subsidi energi tahun ini sebesar Rp502 triliun. Namun, pemerintah memiliki kuncian untuk tetap meringkan beban masyarakat dengan tetap menjaga kredibilitas APBN.
Khusus untuk solar, pemerintah menetapkan subsidi terbatas minyak solar sebesar Rp1000/liter. Besaran ini meningkat dibandingkan tahun ini yang hanya sebesar Rp500/liter. Artinya, subsidi solar ini sama dengan besaran yang ditetapkan pemerintah tahun 2020.
Adapun, untuk Pertalite, pemerintah tidak mencantumkannya ke dalam daftar subsidi di RAPBN 2023.
Seperti diketahui, pemerintah akan mendorong kebijakan transformasi subsidi energi menjadi subsidi berbasis orang/ penerima manfaat akan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat pada tahun depan.
4. Burden Sharing dengan Bank Indonesia (BI)
Skema burden sharing dengan Bank Indonesia (BI) masuk dalam salah satu pasal dalam RAPBN 2023.
Tertulis pada pasal 25, penerbitan SBN oleh pemerintah dapat dibeli BI di pasar perdana berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berdampak pada perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Adapun pertimbangan pembelian adalah melihat kondisi pasar SBN, pengaruh terhadap inflasi, jenis SBN yang dapat diperdagangkan dan kesinambungan keuangan Pemerintah dan BI.
Sementara itu, sisa dana dari penerbitan SBN pada tahun ini yang tidak terserap dapat digunakan untuk membiayai penanganan kesehatan dan kemanusiaan, dan/atau program perlindungan masyarakat lainnya. [**]