Jimly: Amendemen UUD 1945 Pengkhianatan Terhadap Negara 

Jimly: Amendemen UUD 1945 Pengkhianatan Terhadap Negara 

Metroterkini.com - Pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, amendemen UUD 1945 tidak masuk akal apabila dilakukan untuk kepentingan mengubah lamanya masa jabatan presiden. Sebab, perubahan UUD idealnya diperuntukkan bagi kepentingan besar dan jangka panjang.

Dia mencontohkan, amendemen UUD untuk menghidupkan kembali garis-garis besar halauan negara (GBHN). 

"Itu saja enggak mungkin sekarang ini. Apalagi untuk urusan kepentingan jangka pendek atau memperpanjang kepentingan sendiri," ujar Jimly, Selasa (8/3/2022). 

"Tidak masuk akal dan tidak mungkin. Kalau dipaksakan bisa ribut. Karena itu berarti pengkhianatan kepada negara," tegasnya. 

Kemudian, apabila dengan segala cara amendemen UUD 1945 dilakukan, Jimly mengingatkan potensi impeachment atau pemakzulan atas presiden. Jimly pun memberikan pandangan jika presiden tetap mengeluarkan dekrit. 

Menurut dia, kondisi seperti itu pernah terjadi saat Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid menjabat. 

"Misalnya yang disampaikan oleh Yusril (Yusril Ihza Mahendra) yakni boleh bikin dekrit. Kan Gus Dur pernah bikin dekrit. Dia diberhentikan gara-gara itu. Sebab, oleh MA, dinilai itu melanggar hukum," ungkapnya. 

"Hukum itu akhirnya di tangan hakim. Jadi kalau ini nanti dibawa ke pengadilan baik ke MK maupun MA itu pemaksaan perubahan konstitusi, apalagi misalnya memaksakan dengan dekrit artinya melanggar sumpah, melanggar konstitusi," tambah Jimly. 

Revisi UU Pemilu dinilai sulit 

Lebih lanjut, Jimly juga menegaskan, perpanjangan masa jabatan presiden juga sulit diakomodasi dengan revisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Alasannya, saat ini revisi atas UU Pemilu tersebut sudah dikeluarkan dari program legislasi nasional (prolegnas). 

"Kan tidak dibahas lagi. Lalu jadwal pemilu sudah ditetapkan 14 Februari 2024. Ini tinggal finishing bentar lagi. Saya sudah tanya kapan Peraturan KPU (PKPU) keluar? Kemungkinan akhir Maret 2022. Sebab tinggal menunggu rapat konsultasi (dengan DPR) sekali lagi setelah reses," jelas Jimly. 

"Tapi yang sudah disepakati adalah tahapan pemilu mulai 1 Agustus 2022 yakni saat pendaftaran peserta pemilu dan berakhir 20 Oktober 2024 saat pelantikan presiden (terpilih)," lanjutnya. Sehingga, Jimly menekankan hanya tinggal beberapa bulan saja menjelang 1 Agustus 2022. Dia menilai dalam waktu beberapa bulan saja akan sulit bagi DPR untuk merevisi UU Pemilu yang sudah dikeluarkan dari prolegnas. 

"Jika dipaksakan masuk, itu butuh waktu. Maka tidak mungkin juga mengubah UU. Sebab Maret PKPU sudah keluar, yang berarti tahapan pemilu dimulai," katanya. "Itu sama artinya dengan pertandingan sudah dimulai dan tidak boleh lagi ada aturan yang berubah," tambah Jimly. 

Sebagaimana diketahui, wacana perpanjangan masa jabatan presiden telah disinggung oleh tiga ketua umum parpol koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Adapun wacana mengenai perpanjangan masa jabatan presiden embali ramai dibicarakan tahun lalu setelah Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengomentari isu terkait perpanjangan masa jabatan presiden pada 2021 lalu. 

Setelahnya, tiga ketua umum parpol koalisi yakni Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan juga menyampaikan hal serupa kepada publik. Isu perpanjangan masa jabatan presiden itu berujung pada wacana Presiden Jokowi tiga periode. 

Dengan adanya usulan perpanjangan itu maka pelaksanaan pemilu berikutnya, yakni 2024 juga diusulkan ditunda terlebih dulu. Namun, Jokowi pernah menegaskan tidak pernah berniat ingin menjadi presiden tiga periode karena menyalahi konstitusi. Sebab, UUD 1945 mengatur, kekuasaan hanya bisa dipegang maksimal selama dua periode untuk orang yang sama. Dalam pertanyataan terbarunya, Presiden Jokowi menyatakan bakal patuh pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. 

"Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/3/2022), dilansir dari Kompascom, Sabtu (5/3/2022). 

Kendati demikian, sikap Jokowi kali ini tak sekeras pernyataannya sebelumnya. Kali ini, dia menyatakan, wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi. Namun, sekali lagi, Jokowi menegaskan bakal tunduk dan patuh pada konstitusi. 

"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi," jelas Kepala Negara. 

"Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," tambahnya. [**]
 

Berita Lainnya

Index