Metroterkini.com - Ormas Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) menyesalkan dan membantah keras atas pernyataan Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) yang menyudutkan masyarakat gambut yang berulah sebagai biang terjadinya bencana kabut asap.
Demikian disampaikan Isnadi Esman selaku Sekretaris Jenderal JMGR. “Ya kita menyesalkan atas pernyataan Kepala Badan BRG yang di muat di media online kompas.id pada tanggal 13 September 2019. Kita harus pahami bahwa, memuncaknya bencana kabut asap yang di timbulkan dari Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) di Riau hingga saat ini merupakan akumulasi dari buruknya tata kelola gambut yang di lakukan oleh pemerintah melalui kebijakan dan regulasi yang tidak berpihak kepada ekosistem gambut dan masyarakatnya".
Masih menurut Isnadi izin konsesi baik itu Hutan Tanaman Industri (HTI), HGU Perkebunan, Tambang dan Migas merupakan akar utama dari keringnya gambut sehingga mudah mengalami kebakaran. Hal itu sangat di sayangkan, apabila hingga hari ini pemerintah dan publik masih membangun paradigma dan opini bahwa masyarakat petani gambut di desa sebagai penyebab utama dari terjadinya Karhutla.
“Kepala Badan BRG harus jeli melihat fakta lapangan hari ini bagai mana masyarakat gambut berusaha “mengikat perut” mereka, menahan lapar dan kemiskinan, dengan tidak lagi bertani dan bercocok tanam karena takut akan terjadinya kebakaran. Hari ini kita siap untuk menunjukkan kepada pemerintah, di mana masyarakat yang mengalami penderitaan ganda akibat kesalahan masa lalu negara dalam mengelola sumber daya alamnya, saat ini masyarakat gambut tidak hanya mengalami kemunduran kesehatan akibat asap, namun juga kemiskinan yang semakin mendera, contohnya di desa-desa sepanjang Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan,” tambahnya.
“Dulu masyarakat mengelola lahan gambut dengan arif dengan menanam jagung, hasilnya berlimpah untuk kebutuhan makan, sekolah dan kesehatan. Namun ketika ada larangan membakar, patroli dari kepolisian dan TNI rutin di lakukan ke masyarakat, ribuan hektare lahan terlantar dan menjadi semak belukar dan itu yang sekarang setiap tahun mengalami kebakaran hebat, itu baru satu contoh banyak lagi kondisi yang sama terjadi di Riau,” ungkap Isnadi.
Tak hanya itu, masalah kegagalan restorasi gambut saat ini bukan di masyarakat, tapi kelemahan pemerintah yang tunduk pada korporasi. Tidak berani mengintervensi secara maksimal kepada perusahaan untuk melakukan upaya restorasi, tidak mampu meberikan sanksi atas kerusakan gambut yang disebabkan perusahaan.
Ia menambahkan, seberapa banyakpun sekat kanal dan sumur bor yang dibangun jika tidak dilakukan manajemen air yang baik tetap saja areal-areal masyarakat akan mengalami kekeringan dan kebakaran. "Kita temukan di lapangan perusahaan menutup pintu air yang mengarah ke areal masyarakat secara permanen ketika musim kemarau seperti sekarang, sehingga dampaknya areal konsesi tetap basah sementara areal permukiman dan wilayah kelola masyarakat kering, sehingga mudah terbakar," imbuhnya.
Menurut Isnadi lagi, sebaliknya jika musim penghujan pintu-pintu air di perusahaan dibuka sehingga areal masyarakat kebanjiran. Solusi ini yang harus kongkrit diselesaikan oleh pemerintah yang dalam hal ini BRG, KLHK dan Kementan dan otoritas yang lainya. Bukan malah melemparkan dan mengkambinghitamkan masyarakat gambut.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera (JMG-Sumatera) Albadri Arif yang biasa disapa Boneng mengatakan masyarakat yang terlibat dalam pembakaran lahan tidak bisa di generalkan. Ada perusahaan dan pemodal yang mengunkan modus dengan membayar masyarakat untuk membakar lahan yang akan di siapkan untuk lahan perkebunan seperti sawit dan HTI misalnya, namun yang begini tentunya bukan masyarakat secara umum.
"Mereka bukan masyarakat petani yang menanam padi, jagung serta palawija yang hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dimana mereka memang bergantung hidup pada lahan gambut. Masyarakat yang berada di kelas petani kecil tadi kita yakini mereka mengelola lahan secara hati-hati dan arif. Disinilah pentingnya kejelian pemerintah dalam penegakan hukum. Tidak hanya masyarakat yang ditetapkan tersangka hingga vonis namun tidak kalah penting terhadap perusahaan, cukong dan pemodal dimana mereka benar-benar mengeksploitasi gambut untuk kepentingan bisnis dan industri," tutup Boneng. [rls]