Ngitung Batih, Tradisi Warga Ponorogo Sambut Tahun Baru Islam

Ngitung Batih, Tradisi Warga Ponorogo Sambut Tahun Baru Islam

Metroterkini.com - Banyak tradisi masyarakat Indonesia dilakukan untuk memperingati malam tahun baru Islam, tanggal 1 Muharram yang bertepatan dengan malam tahun baru Jawa atau malam 1 Suro. Biasanya pada malam 1 Suro masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur banyak Tirakat dan menghabiskan waktu semalam suntuk untuk mlaku-mlaku atau jalan-jalan menuju pusat kota Ponorogo.

Ada tradisi yang dilakukan masyarakat Kabupaten Ponorogo yang tersebar di 21 Kecamatan menyambut malam 1 Muharram atau Suro, yaitu Ngitung Batih. Tradisi Ngitung Batih mempunyai makna menghitung jumlah anggota keluarga. 

"Pada malam Satu Muharram atau Suro usai sholat maghrib warga satu lingkungan berkumpul di suatu tempat atau rumah warga yang dituakan dengan membawa ambengan atau makanan nasi lengkap lauk pautnya terutama srondeng yang ditempatkan pada takhir dengan jumlah sesuai dengan banyaknya anggota keluarga kita dalam satu rumah," ungkap Mbah Djaini, tokoh masyarakat Dukuh Duwet, Desa Bancar, Kecamatan Bungkal, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang memimpin tradisi Ngitung Batih, Sabtu (1/10) malam.

Takhir adalah tempat menaruh nasi lengkap lauk pauk yang terbuat dari daun pisang, biasanya berbentuk kotak persegi panjang dan diberi hiasan atau tali dari Janur (daun kelapa muda). "Nasi lengkap lauk pauk dimasukkan Takhir diberi Janur mempunyai makna setiap orang harus selalu bersedekah dengan ikhlas," tambahnya.

Setelah semua berkumpul, ambengan yang berisi takhir tersebut di buka dan tokoh dituakan memimpin doa bersama. "Semua yang hadir berdoa kepada Allah SWT agar dosa satu tahun lalu diampuni dan selama satu tahun yang akan datang kita semua diberi kekuatan lahir batin, nikmat sehat, umur panjang, diberi rejeki yang halal dan melimpah serta selalu diberi keselamatan," terangnya.

Usai doa bersama, warga yang hadir menikmati santap makanan dari ambengan yang dibawa. "Warga boleh makan makanan milik siapapun yang ada di tempat itu, boleh tukar menukar. Ini adalah simbol kerukunan dan kekompakkan serta kebersamaan warga dalam satu lingkungan," bebernya.

Dia menambahkan, setelah warga selesai makan-makan, maka bergegas pulang ke rumah masing-masing dengan membawa sisa Takhir yang ada untuk diberikan kepada keluarga yang ada di rumah. "Dengan harapan warga dalam satu rumah tangga akan selalu rukun," paparnya.

Ditemui secara terpisah, Kepala Desa Bancar, Pamuji menerangkan tradisi Ngitung Batih saat Mapak Tanggal (menjelang) 1 Muharram atau 1 Suro adalah tradisi masyarakat Jawa yang harus dilestarikan. 

"Tradisi ini membuktikan bahwa masyarakat selalu bersyukur atas Karunia Allah SWT serta mengajarkan kita untuk selalu rukun, kompak dan gotong royong dalam masyarakat, sehingga dalam membangun desa akan mendapat Ridhlo dari Tuhan Yang Maha Esa," tuturnya. [nur]

Berita Lainnya

Index