Metroterkini.com - Desa Lubuk Bigau Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau selama ini terkenal karena memiliki alam indah dengan potensi wisata alamnya. Desa ini dan desa sekitar berada jauh di pedalaman yang masih minim pembangunan, yang parahnya lagi desa ini saat ini terisolir akibat jembatan putuh dan tanah longsor.
Musim hujan yang melanda daerah ini telah membuat tebing jalan menuju desa ini longsong, demikian juga jembatan yang menghubungkan 4 desa juga hanyut diterjang air bah beberapa waktu lalu. Sampai saat ini belum ada upaya pihak terkait untuk membuka isolasi 4 desa tersebut.
Berikut perjalan rekan kami yang cukup sulit mencapai desa Lubuk Bigau yang selama ini memiliki potensi air terjung dan gua-gua yang cukup indah sebagai potensi wisata andalan di Riau dan Sumatera tentunya.
Desa Lubuk Bigau memiliki jarak tempuk sekitara 78 Km Lipat Kain Kampar. Waktu panjang dan tenaga ekstra untuk menuju desa terisolir itu harus dibarengi modal tekad kuat, "kami niatkan langkah kami mengunjungi keindahan Air Terjun Pangkalan Kapas (Artepak) di Desa Lubuk Bigau".
Perjalan yang dimulai Kamis (18/2/16) kami rombongan terdiri enam orang bertolak dari Pekanbaru pukul 14.00 WIB menggunakan mobil Ford Ranger putih menuju Desa Lubuk Bigau. Lebih kurang menempuh perjalanan 60 Km, tepat pukul 16.00 WIB kami sampai di Lipat Kain, Kampar, Riau.
Mobil terus melaju dengan kecepatan 60 Km/Jam melewati kota kecil Kabupaten Kampar itu. Tak lama kemudian, kami masuk jalan Simpang Kuntu. Suasana desa mulai terasa saat mendaki dan menuruni perbukitan kecil dengan kanan kiri kebun karet warga setempat. Tak lama kemudian, kami rombongan berniat untuk beristirahat sejenak meluruskan badan menghilangkan penat di tengah kebun warga setempat.
Setengah jam sudah beristirahat, kemudian kami melanjutkan perjalanan. Kecepatan mobil mulai lambat dengan jarak tempuh 20 Km/Jam saat melintasi jalan tanah berbatuan. Perjalanan kami tampak sempurna dengan pemandangan sunset kemerahan di atas perbukitan bebatuan itu.
Sesekali dari rombongan kami berteriak "My Trip, My Adventure", sambil menoleh ke ke jendela kaca mobil menghirup udara sore hari. Matahari secara bertahan mulai menghilangkan wujudnya, kami terus menempuh perjalanan.
Pukul 17.30 WIB kami memasuki Desa Tanjung Agung, Kampar Kiri Hulu. Di sana kami masih melihat tiang-tiang listrik yang belum dialiri listrik. Penduduk di sana mulai sibuk dengan aktivitas sorenya, terlihat ada yang berolahraga, ada juga yang berkumpul dengan tetangga menunggu waktu Magrib.
Kami pun tak segan menyapa para penduduk yang duduk di pinggir jalan yang sudah di rigit. Sesekali mobil kami harus berhenti saat hewan peliharaan penduduk melintasi jalan yang akan dikandangkan oleh pemiliknya.
Usai melintasi Desa Tanjung Agung, kami sedikit mempercepat lanju kendaraan. Tepat pukul 18.00 WIB kami pun sampai di perbukitan Desa Tanjung Agung antara Desa Muara Selaya. Meski di sana tidak ada satu pun rumah penduduk, namun bukit itu ramai.
Bukit itu punya cerita tersendiri bagi warga di sana. Terlihat di sana tower pemancar salah satu perusahaan telekomunikasi menjulang tinggi di atas bukit. Di sana lah, warga memanfaatkan bukit itu untuk menelpon keluarga. Momen itu dimanfaat rombongan kami untuk menelfon keluarga maupun kepentingan lain. Karena informasi warga, di bukit itu terakhir bisa menggunakan handphone untuk menelfon.
"Kalau yang mau menelfon di sini. Nanti tidak ada jaringan lagi. Di sini tempat terakhir bisa menelfon, karena di dalam tidak ada jaringan," kata Arika, Warga Lubuk Bigau yang mendampingi rombongan kami.
Hari semakin gelap, suara azan Magrib dari atas perbukitan terdengar samar-samar. Warga pun satu per satu mulai meninggalkan bukit itu. Hanya ada dua pedagang kampas minyak masih beristirahat di atas bukit menunggu lepas azan Magrib.
Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan menuruni perbukitan dengan tikungan tajam. Meski tak terlihat jelas, namun curam jurang tampak jelas ketinggiannya. Terlihat lampu-lampu rumah penduduk Desa Muara Selaya di atas bukit menambah indahnya malam.
Awalnya kami hendak memikirkan mobil di Desa Batu Sasak. Namun karena diguyur hujan di Desa Deras Setajak, akhirnya kami parkiran mobil Desa Tanjung Karang. Di desa itu lah kami bermalam di rumah penduduk, beristirahat memanjakan badan setelah menempuh perjalanan lebih kurang delapan jam dari Pekanbaru.
Pagi itu, Jumat (19/2/16) pukul 08.00 WIB. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Desa Lubuk Bigau. Kali ini kami tidak menggunakan mobil, dipandu warga setempat kami meluncur menggunakan lima sepeda motor.
Perjalanan cukup menantang andrenalin kami. Lintasan yang dilewati cukup cocok bagi penggemar adventure. Perbukitan tanah kuning dan bebatuan alam kerap kami jumpai. Tak jarang satu satu rombongan kami terjatuh. Namun kondisi itu tak menyurutkan langkah kami untuk mengunjungi air terjun tertinggi di Riau itu.
Kami pun terus memacu kenderaan dengan penuh semangat, akhirnya kami sampai di Desa Batu Sasak, dan beristirahat di salah satu warung kecil warga setempat, sambil menikmati gorengan dan seteguk kopi hitam ditemani pemilik warung.
Kepala Dusun II Tanjung Raya, Desa Batu Sasak, Darlis sejak kejadian itu baru dua kali turun mengeluarkan hasil pertanian warga. "Kalau mau keluar bisa, tapi ban mobil. Kami komunikasi susah kami, kalau ingin komunikasi dengan keluarga, saudara, teman harus mencari tempat diketinggian. Itupun hanya satu tempat yang ada jaringannya," ungkapnya. [amin]