Metroterkini.com - Ratna Sarumpaet memprotes pasal 158 Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Sebab, Mahkamah Konstitusi hanya menerima gugatan Pilkada yang memperoleh suara 2 persen.
Ratna mengharapkan pihak DPR untuk mendesak Mahkamah Konstitusi agar tidak membatasi sengketa Pilkada. Dia menilai pasal ini merusak demokrasi yang sedang dibangun pemerintahan Jokowi-JK.
"Adanya batasan tidak ada proses hukum untuk memimpin itu masalah, siapa pun salah kalau ada pasal ini dibiarkan, ada kesan merusak pemerintah," ujar aktivis 98 di Restoran Handayani, Jakarta, Sabtu (26/12).
Lanjutnya, pelanggaran Pemilu juga harus diproses hukum di Mahkamah Konstitusi agar pemilih juga bisa mendapatkan keadilan. "Pelanggaran sebelum Pemilu tidak bisa diproses yang ada sengketa perolehan suara, padahal pelanggaran itu harus disentuh proses hukum," kata dia.
Pasal 158 ayat 1 mengatur tentang permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Sedangkan, ayat 2 mengatur tentang permohonan pembatalan hasil penghitungan suara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Dua ayat dalam pasal ini memberikan batasan maksimal untuk mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara.
Undang-undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) mengatur bahwa syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih suara maksimal 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi maksimal 2 juta penduduk.
Untuk diketahui, sebanyak 131 gugatan Pilkada 2015 telah diajukan ke Mahkamah Konsitusi. Namun hanya sedikitnya 10 kasus gugatan Pilkada 2015 ini yang bisa diproses oleh MK. [**mrd]