Metroterkini.com - Warga Suku Using Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi berjejalan di sepanjang jalan desa untuk menggelar tradisi unik Tumpeng Sewu (seribu nasi tumpeng).
Namun tak hanya sewu tumpeng yang disajikan dalam ritual tolak bala, Kamis (17/9) malam. Ada 3 ribu nasi tumpeng yang dipasangkan dengan lauk khas pecel pitik dan dihidangkan sekaligus dalam ritual adat yang digelar setahun sekali ini.
3 ribu tumpeng itu menghabiskan sekitar 6 ton beras dan 3.000 ayam kampung yang pembuatannya dilakukan secara serentak oleh masyarakat Kemiren. Warga Kemiren yang berjumlah 1300 kepala keluarga, masing-masing menghidangkan 2 tumpeng pecel pitik yang disajikan dan dimakan bersama di depan rumah.
Tradisi bersih desa yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival ini menarik minat ribuan wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Setiap pengunjung yang datang dipersilahkan untuk menikmati hidangan secara gratis.
Pendatang bisa berbaur tanpa jarak dengan warga setempat untuk menikmati tumpeng sewu ini.
"Acara ini sangat menyenangkan kita bisa makan bareng-bareng bersama orang banyak di sepanjang jalan. Makanannya saya suka meski sedikit pedas," ujar Christopher Reid, seorang turis asal Kanada yang ikuti ritual Tumpeng Sewu, Kamis (17/9).
Serbuan warga yang menyemut itu membuat masyarakat Kemiren ketiban rejeki. Pasalnya pengunjung dari luar Banyuwangi yang penasaran akan citarasa pecel pitik, ikut berjubel antre memesan makanan khas berbumbu parutan kelapa muda tersebut. Satu porsi nasi tumpeng lengkap dengan pecel pitik dan sayuran plus sambal kacang dihargai sebesar Rp. 250 ribu.
Meski Tumpeng Sewu masuk dalam agenda B-Fest, pemda setempat sengaja tidak memberi suntikan dana APBD. Hal itu dilakukan agar kearifan lokal masyarakat dalam gotong rotong dan menjunjung nilai tradisi tetap terjaga.
Walaupun tradisi ini dibiayai secara swadaya masyarakat, peredaran uang yang terjadi saat ritual bersih desa ini diprediksi mencapai Rp. 250 juta. Nilai perputaran ekonomi yang cukup fantastis untuk sebuah ritual desa yang dibiayai sukarela oleh masyarakat Desa Kemiren ini.
"Meski masuk agenda B-Fest, tumpeng sewu ini tidak dibiayai APBD karena masyarakat secara mandiri ingin merawat tradisi yang sudah turun menurun mereka lakoni. Lalu oleh Pemda dikenalkan ke khalayak luas, bahwa ini adalah bagian dari upaya merawat tradisi dan kearifan lokal yang menggambarkan keterbukaan dan keramahan suku Using," kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Hamparan tikar dan ratusan oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat) yang berjejer di sepanjang desa Kemiren makin melengkapi sensasi sakral makan pecel pitik bersama.
Sebelum makan bersama, warga Desa Kemiren mengawalinya salat maghrib berjamaah dan doa bersama. Sebelum selamatan dimulai, masyarakat juga "ngarak barong" sebagai simbol penjaga Desa Kemiren. Selain itu mereka juga membakar daun kelapa kering sepanjang jalan untuk menghilangkan marabahaya.
Usai makan tumpeng bersama, di rumah tokoh masyarakat setempat warga bersama sama membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.
Melengkapi tradisi Tumpeng Sewu, pada siang hari, warga desa melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) abang cemeng yang menjadi kasur khas Suku Using secara massal. [detik]