Metroterkini.com - Keputusan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti yang menangguhkan proses hukum calon kepala daerah (cakada) yang tersangkut masalah hukum di Polri, sampai usai pilkada menuai protes dari sejumlah masyarakat Bengkalis, Rabu (12/8/15).
Kebijakan tersebut dinilai membingungkan dan tidak adil dalam penegakan supremasi hukum di Republik ini.
“Aneh, kok seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, malahan proses penyidikannya ditangguhkan. Apalagi alasan yang dipergunakan adalah adanya pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tanggal 9 Desember 2015 mendatang. Seharusnya Kapolri memisahkan proses pidana dan politik,”protes Wan Sabri, dari presidium Komite Masyarakat Bukitbatu-Siak Kecil (KOMBS) Kabupaten Bengkalis, Rabu siang.
Wan Sabri mempertanyakan, bagaimana dengan seorang kepala daerah yang misalnya tidak mengikuti pilkada, tetapi dia berstatus tersangka, apakah juga ditunda proses hukumnya sampai masa jabatan dia berakhir.
Percaturan politik dengan kasus tindak pidana korupsi yang seharusnya terpisah, tiba-tiba pihak kepolisian memberi keuntungan kepada seorang cakda. Menurut Wan Sabri, kebijakan Kapolri tersebut kurang logis.
Tiga Kepala Daerah yang ditetapkan Mabes Polri sebagai tersangka yaitu Gubernur Bengkulu, Bupati Kotabaru Kalimantan Barat dan mantan bupati Bengkalis Herliyan Saleh.
Wan Sabri menilai kebijakan Kapolri tidak tepat. Sebab, awalnya penegakan hukum yang dilakukan kepolisian dan mendapat apresiasi masyarakat Bengkalis. Namun, dengan keluarnya kebijakan Kapolri ini justru membingungkan masyarakat.
“Kebijakan penangguhan proses hukum cakada dalam tindak pidana korupsi, berupa penghentian sementara penyidik tidak bisa diterima. Seharusnya hukum tetap harus ditegakkan, walau disatu sisi ada seorang tersangka yang merupakan cakada tidak bisa begitu saja ditangguhkan penyidikan lanjutannya,” papar Wan Sabri.
Ditambahnya, penetapan tersangka Herliyan Saleh, tanggal 15 Juli 2015 yang ketika itu masih menjabat bupati Bengkalis, seharusnya tidak perlu dilakukan kalau Polri kemudian tidak melanjutkan proses hukumnya.
Malahan Polda Riau sudah melimpahkan berkas Herliyan Saleh ke Kejaksaan Tinggi Riau.
“Kasus hukum kok seperti komedian, kalau kondisinya seperti ini. Tidak ada alasan Polri untuk tidak melanjutkan proses hukum seseorang, apakahtersangka itu mau ikut pilkada atau tidak,” tutup Wan Sabri dengan nada heran.
Pendapat serupa juga dilontarkan Alfi Sahri, pegiat dari Serikat Tani Riau (STR) di Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.
Ia menilai, seorang cakada seharusnya tidak boleh mengikuti pilkada, karena harus menjalani proses hukum serta cacat moral dan integritas sebagai pemimpin.
“Ini negara hukum, tapi hukum justru dicacatkan. Sehingga semua orang tidak kebal lagi terhadap hukum, tergantung kepentingan. Hukum seharusnya menjadi panglima, bukan menjadi alat kepentingan politik praktis seperti yang terjadi dengan kebijakan Kapolri sekarang,” tukas Alfi.
Alfi juga khawatir penundaan proses hukum terhadap seorang cakada, justru akan betul-betul dihentikan begitu si tersangka memenangi pilkada.
Jika ini yang terjadi ungkap Alfi, supremasi hukum dan proses demokratisasi bisa mati konyol, karena demokrasi adalah proses melahirkan pemimpin yang bersih dan bijkasana, bukan menciptakan koruptor.
“Jangan-jangan nanti setelah si tersangka memenangi Pilkada, bisa saja akan ada kebijakan baru lagi. Misalnya, kepala daerah yang menjadi tersangka proses hukumnya ditunda lagi sampai masa jabatannya berakhir,” tutup Alfi. [Rudi]