Metroterkini.com - Bila tidak ada aral melintang, hari ini Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu dan atau Penasihat Hukumnya akan mengajukan pembelaan atau pledoi. Namun demikian, hingga pagi hari ini masyarakat masih heboh dan merasa tersakiti serta bingung atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Eliezer ialah 12 tahun penjara, padahal dia adalah Justice Colaborator (JC) yang justru membuka kotak pandora hingga kasus dan rekayasa untuk menutupi kasus pembunuhan Almarhum Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat terbongkar. Budayawan Goenawan Mohamad sendiri sampai menulis Catatan Pinggir berjudul 'Eliezer' dalam edisi majalah TEMPO terbaru.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari terbongkarnya skenario kasus pembunuhan Brigadir Pol Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh Eliezer sebagai JC yang kiranya dapat menjadi bahan memperbaiki banyak hal di institusi Kepolisian RI termasuk pola dan materi pendidikan serta pembinaan mental calon polisi maupun sebelum anggota diangkat untuk menjabat jabatan tertentu.
Kejaksaan Agung memberikan reaksi yang makin membingungkan masyarakat tentang alasan atau pertimbangannya menuntut Eliezer 12 tahun. Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Jumhana mengatakan meskipun sebagai JC, tetapi tuntutan 12 tahun penjara adalah layak bagi Eliezer karena melaksanakan perintah yang salah. Bila tidak mempertimbangkan status sebagai JC Eliezer akan dituntut sama dengan tuntutan terhadap Ferdy Sambo (seumur hidup).
Berbeda dengan Jampidum, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana malah mengatakan bahwa JC tidak dibenarkan dalam kasus pembunuhan berencana. Ketut mengatakan, tuntutan Richard sudah lebih ringan dari tuntutan terhadap Ferdy Sambo. Karena itu saksi yang kooperatif, saksi yang berkata jujur dalam persidangan. Seandainya tidak melakukan itu kami samakan dengan Ferdy Sambo. Sementara itu, faktanya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tetap memandang dan merekomendir Eliezer sebagai JC.
Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman menanyakan pendapat dari Praktisi Hukum DR. Augustinus Hutajulu SH. CN. MHum, tentang tuntutan 12 tahun terhadap Eliezer, sang Justice Collaborator yang mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas itu.
Augustinus mengatakan bahwa sejak dakwaan, dia sudah heran dengan surat dakwaan yang banyak menggunakan istilah hukum secara sembarangan, misalnya menyebut pistol 'milik' terdakwa Eliezer serta terdakwa lain bukan istilah senjata dinas atau senjata yang digunakan, padahal semua pistol itu adalah milik negara cq. Kepolisian RI, dengan kata lain mereka itu tidak pernah membeli senjata api atau memiliki Buku Pemilikan Senjata Api.
Lalu, dalam Surat Tuntutan (Requisitoir), JPU memandang terdakwa Eliezer memenuhi unsur ‘dengan sengaja’ dalam pasal 340 KUHP karena memandang Eliezer menghendaki dan mengetahui risiko dari tindakannya. Dengan kata lain, JPU menganggap Eliezer memenuhi unsur dengan sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk) yang mensyaratkan menghendaki dan mengetahui (willens en wetens) perbuatan maupun akibatnya, dalam hal ini penembakan dan kematian dari Brigadir Yosua.
"Saya heran, karena jelas dalam persidangan terungkap fakta baik dalam kesaksiannya maupun keterangannya sebagai terdakwa, Eliezer mengatakan bahwa dia sangat ketakutan mendapat perintah dari Ferdy Sambo dan skenarionya. Di persidangan selaku saksi mahkota untuk terdakwa Kuat Ma’ruf dan Bripka Ricky Rizal, Eliezer menjelaskan alasan dia tidak berani menolak perintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir Y. Eliezer mengaku takut bernasib sama seperti Yosua. Kepada Majelis Hakim, Richard mengatakan, “Takut Yang Mulia.” “Kenapa takut,” timpal Hakim.
“Saya pada saat dia kasih tau (skenario pembunuhan) ke saya di Saguling, pikiran saya, saya akan sama seperti Almarhum, Yang Mulia,” jawab Eliezer.
Selain itu, perbedaan pangkat Ferdy Sambo Jenderal bintang dua dengan jabatan Kadiv Propam Polri menjadi alasan Richard tidak bisa menolak perintah tersebut. Richard mencontohkan perbedaan pangkat mereka bagaikan langit dan bumi.
“Ini jenderal bintang dua menjabat sebagai Kadiv Propam, Yang Mulia. Dan posisi saya saat itu sampai saat ini jabatan saya Bharada, pangkat terendah. Dari pangkat saya bisa lihat rentang pangkat itu bagaikan langit dan bumi," kata Augustinus, dalam keterangan persnya, Rabu (25/1/2023).
Kemudian, lanjut Augustinus, di persidangan Eliezer mengatakan dia sampai berdoa di toilet saat baru menerima perintah di rumah Saguling. “Saya berdoa, ‘Tuhan kalau bisa ubah pikirannya biar nggak jadi’, karena saya takut harus cerita kepada siapa lagi saya beraninya hanya berdoa,” ujar Eliezer.
Kepada Hakim Ketua, Eliezer juga menceritakan, bahwa setiba di rumah Duren Tiga, “Saya masih bleng juga pada saat itu, Yang Mulia. Saya lihat ada kamar terbuka, saya masuk, saya berdoa lagi di situ Yang Mulia,” ungkap Eliezer. Hakim Ketua kemudian meminta Eliezer mengungkapkan isi doa yang dipanjatkan di dalam kamar tersebut. “Saya berdoa saya minta Tuhan gak jadi kejadian ini Yang Mulia. Biar Tuhan ubahkan pikiran Pak Sambo Yang Mulia, biar gak jadi rencananya Pak Sambo,” terang Eliezer.
"Ketika Eliezer memberikan keterangan di atas baik sebagai saksi mahkota maupun sebagai terdakwa, tidak ada pihak termasuk JPU yang menyanggahnya sehingga keterangan Eliezer itu haruslah dianggap sebagai fakta persidangan. Dengan demikian, jelaslah Eliezer tidak menghendaki melakukan perbuatan yang diperintahkan itu. Lalu, bagaimana bisanya dalam Surat Tuntutannya, JPU kemudian menganggap Eliezer menghendaki perbuatannya itu?" kata Augustinus.
Mengingat fakta-fakta di persidangan, menurut Augustinus termasuk tentang pengaruh psikologis dari Ferdy Sambo yang berpangkat Irjen dengan jabatan Kadiv Propam sebagai atasannya terhadap Eliezer sebagai supir atau ajudan dengan pendidikan untuk menjadi anggota Polisi/Brimob dengan pangkat terendah (ada jarak 19 jenjang kepangkatan), saya juga sependapat dengan para ahli, para praktisi hukum maupun masyarakat yang mengatakan bahwa terdakwa Eliezer pastilah melakukan perbuatannya karena pengaruh daya paksa.
Menurut Pasal 48 KUHP (Muljatno), 'Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana'. Daya paksa itu dibedakan antara daya paksa absolut dan daya paksa relatif. Contoh daya paksa absolut (vis absoluta) misalnya adalah seseorang memegang dengan paksa tangan seseorang lain untuk mengarahkan dan menarik pelatuk serta menembakkan pistol kepada korban.
Sebagaimana disebut dalam bukunya Eddy O.S Hiariej (Prinsip-prinsip Hukum Pidana), daya paksa yang relatif juga disebut vis compulsiva dalam arti sempit atau karena paksaan psikis atau contrainte morale. Dalam keadaan demikian juga berlaku adagium ignoscitur ei qui sanguinem suum qualiter redemptum voluit (apapun yang dilakukan oleh seseorang karena ketakutan akan kehilangan hidupnya, tidak akan dihukum).
Lalu, mengapakah JPU tidak mempertimbangkan fakta ketakutan Eliezer akan dijadikan seperti Yosua jika menolak perintah tersebut sebagai paksaan psikis dalam Surat Tuntutannya dan lalu dengan berani menuntut agar terdakwa Eliezer tidak dijatuhi pidana?
"Bukankah menurut Pasal 8 Ayat 4 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, 'dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat'?," lanjut Augustinus.
"Dalam persidangan, atas pertanyaan Ketua Majelis Hakim, Eliezer membenarkan bahwa dalam pendidikannya untuk menjadi Bharada Brimob di Watukosek, dia hanya diajar untuk siap melaksanakan perintah atasan. Atas keterangan Eliezer ini, JPU tidak mengajukan sanggahan sehingga keterangan Eliezer tersebut haruslah diterima sebagai benar dan merupakan fakta persidangan. Oleh karena itu, saya tidak dapat menerima pendapat dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Jumhana yang mengatakan tuntutan 12 tahun penjara adalah layak bagi Eliezer karena melaksanakan perintah yang salah," kata Augustinus.
Lebih lanjut Augustinus mengatakan, menurut Pasal 51 Ayat 2 KUHP, 'perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya'.
"Lalu, bagaimana mungkin dapat diharapkan Eliezer dengan pendidikan dan pangkat yang terendah sebagai Brimob yang diajari untuk siap melaksanakan bukan untuk menilai perintah atasan, dapat dan berani menilai perintah yang diterimanya dari atasannya yang berpangkat Inspektur Jenderal dengan jabatan Kadiv Propam Polri itu adalah perintah dari yang berwenang atau tidak? Sudah jelas, dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan baik dari keterangan para ahli termasuk ahli psikologi forensik, LPSK serta dari cara memberi keterangan Eliezer baik sebagai saksi mahkota maupun sebagai terdakwa dapat disimpulkan bahwa Eliezer adalah orang yang tulus, taat beragama, kooperatif dan jujur. Jadi menurut saya, pastilah Eliezer menganggap perintah itu berdasarkan wewenang, lalu dengan itikad baik melaksanakannya karena dia hanya diajarkan untuk siap melaksanakan bukan untuk menilai perintah atasan," kata Augustinus.
Augustinus menjelaskan, sebagaimana dikutip dalam bukunya Eddy tersebut di atas, Siti Ismijatie Jenie menyatakan bahwa dalam pengertian subjektif itikad baik itu adalah kejujuran, sedangkan itikad baik dalam pengertian objektif adalah kepatutan.
"Hemat saya, Eliezer yang juga oleh JPU sendiri dipandang sebagai orang jujur, dengan pendidikan yang hanya diajarkan untuk siap melaksanakan perintah atasan, patutlah mengira bahwa perintah yang diberikan oleh Ferdy Sambo itu adalah dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya makanya ia diperintah untuk itu. Eliezer tidak bisa disamakan dengan Bripka RR yang lebih senior 9 jenjang di atas Bharada Eliezer. Dengan demikian, bahkan seandainya tanpa status sebagai JC pun, JPU harus berani menuntut agar Eliezer tidak dijatuhi pidana," pungkas Augustinus.
Sementara itu, Yusri Usman mengatakan, masyarakat tentulah berharap para penasihat hukum Eliezer mampu dengan baik mengungkapkan semua fakta-fakta dan argumentasi yang meringankan bagi Eliezer.
Di atas segalanya itu, seluruh masyarakat pendamba keadilan sangatlah berharap kiranya Majelis Hakim dengan segala kewibawaan hukum dan kebebasannya memberi putusan tidak memidana Eliezer, setidaknya memberi putusan yang terbaik baginya sehingga untuk ke depan, orang tidak merasa sia-sia untuk menjadi Justice Collaborator dan agar orang selalu memilih kejujuran di atas segalanya," tutup Yusri Usman. [hen]