Sidang Gratifikasi Amril Mukminin, Ini Kata Saksi Ahli

Kamis, 10 September 2020 | 22:58:53 WIB

Metroterkini.com - Bupati Bengkalis non aktif, Amril Mukminin, kembali menjalani sidang dugaan kasus suap proyek pengadaan Jalan Duri-Sei Pakning, Kamis (10/9/2020). Dua saksi ahli dihadirkan oleh Amril terkait kasus tersebut.

Kedua saksi itu adalah Erdiansyah, saksi ahli pidana dari Universitas Riau dan Zulkarnain saksi ahli pidana dari Universitas Islam Riau. Saat persidangan, kedua saksi hadir di Pengadilan Tipikor Pekanbaru bersama tim penasihat hukum dan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Erdiansyah dicecar terkait suap dan gratifikasi. Diketahui Amril menerima suap sebesar Rp 5,2 miliar PT Citra Gading Asritama (CGA), dan gratifikasi Rp 23,6 miliar dari dua pengusaha perkebunan sawit Jonny Tjoa dan Adyanto.

Uang suap Rp 5,2 miliar sudah dikembalikan Amril saat proses penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Erdiansyah dengan dikembalikannya uang tidak pidana korupsi, berarti negara tidak dirugikan.

Meski begitu, tidak menutup proses hukum terhadap kasus yang dihadapi. "Dari sisi pidana harus tetap dipertanggungjawabkan," kata Erdiansyah di hadapan majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina.

Untuk gratifikasi diterima Amril saat menjabat anggota DPRD Bengkalis pada 2014-2019 dan Bupati Bengkalis pada tahun 2016-2021. Terkait gratifikasi, kata Erdiansyah, harus dilihat dari asal usul uang yang diterima.

Ia menjelaskan, gratifikasi adalah pendapatan yang tidak sah. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat negara maka harus dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Terkait itu, Asep mempertanyakan tentang seorang yang menjalankan bisnis sebelum menjabat sebagai kepala daerah. Menurut Erdiansyah, tindakan itu boleh dilakukan sepanjang tidak menyalahgunakan kekuasaan.

"Boleh saja seseorang berbisnis sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Sepanjang, tidak menggunakan kekuasaan," kata Erdiansyah.

Menurut Erdiansyah, perjanjian selama itu tidak menggunakan kekuasaan melekat dan merupakan ranah privat antara kedua belah pihak. Hal itu tidak bisa dikatakan gratifikasi tapi murni hasil bisnis.

Apalagi perjanjian itu, tambah Erdiansyah, ada akta notaris. Beda halnya dengan gratifikasi yang diberikan secara diam-diam tanpa ada perjanjian dan termasuk pendapatan tidak sah.

"Perjanjian bisnis bisa berlangsung meskipun seseorang itu menjadi pejabat. Syaratnya harus dilaporkan dalam bentuk LHKPN, yang memuat sumber pendapatan dan ada item-item lain," jelas Erdiansyah.

Erdiansyah juga ditanyai terkait seseorang yang menjadi pengepul sawit dari warga dan mendapatkan Rp10 per kilogram. Usaha ini pernah dilakoni Amril sewaktu menjadi anggota DPRD Bengkalis.

Kata Erdiansyah, itu tidak bisa dikatakan gratifikasi kalau ada perjanjian kerjasama dan akta notaris. Apalagi dalam perjanjian ada dimuat persenan yang diterima.

Sementara JPU KPK, Frenky, mempertanyakan apakah seorang pegawai negeri atau pejabat negara bisa menerima pemberian dari seseorang. Erdiansyah menyebutkan boleh saja asal tidak bersangkutan jabatan. "Kalau ada hubungan dengan jabatan tidak boleh," ucap Erdiansyah.

Mendengar itu, JPU mempertanyakan pemberian dari kontraktor. "Kalau dari kontraktor?" tanya JPU.

Erdiansyah menyebutkan, intinya kalau menyangkut jabatan yang dimiliki tidak boleh menerima pemberian dari kontraktor. "Kalau terima tidak ada kaitan dengan jabatan atau kedudukan, bisa saja," tutur Erdiansyah.

Tidak puas JPU mempertanyakan tentang pemberian uang dari PT CGA yang diterima Amril melalui ajudannya. "Seperti punya ajudan menerima (uang) dan tahu itu dari kontraktor dan tidak suruh kembalikan? tanya JPU.

Erdiansyah menegaskan, sesuatu yang diterima dari orang lain patut dicurigai. "Saya terima sesuatu dari orang lain tapi tidak melewati saya. Di sini ada unsur patut diduga. Seharusnya kalau bertentangan dengan undang-undang harus dikembalikan," tegas Erdiansyan.

Sementara hakim mempertanyakan, apakah hasil yang didapat meski dari bisnis harus disembunyikan. Erdiansyah menegaskan tidak boleh dan harus dilaporkan.

Sementara saksi Zulkarnain, menyebutkan, suatu yang diawali dengan perjanjian tidak bisa dikatakan gratifikasi.

"Kalau gratifikasi terkait jabatan. Uang yang masuk hasil bisnis atau usaha tidak bisa dikategorikan gratifikasi," kata dia.

Dia menjelaskan, ciri khas suatu gratifikasi adalah berkaitan dengan jabatan seseorang. Dengan jabatan itu, seseorang akan mempengaruhi keputusan yang diambil.

Zulkarnain merincikan tentang apa itu suap. Menurutnya, seseorang yang tiba-tiba menerima suap harus dilihat, apakah itu ada kaitannya dengan jabatan. Jika bisnis dan tidak ada kaitan dengan jabatan maka itu tidak masuk dalam suap maupun gratifikasi.

Ia juga menyinggung terkait dakwaan JPU. Menurutnya, sebuah dakwaan harus memenuhi unsur formul dan materil. Jika tidak, dakwaan dapat dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum. "Konsekuensinya, terhadap terdakwa bisa saja dibebaskan," tuturnya.

Atas keterangan saksi-saksi itu, Amril tidak mengajukan keberatan. "Tidak ada yang mulia," tutup Amri. [***]

Terkini