Surat Tanah Palsu, Mantan Luruh Beli Tanah dari Suami

Jumat, 23 Februari 2018 | 23:16:43 WIB

Metroterkini.com - Perkara dugaan pemalsuan surat tanah dengan terdakwa Poniman, Kamis (22/2) siang, kembali digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan agenda pemeriksaan saksi.

Kali ini, JPU Budi D dan Erik R dari Kejaksaan Negeri Pekanbaru, menghadirkan 5 orang saksi. Mereka adalah Gusril (pns) staf Lurah Lembah Damai, Hj. Jusni Rifai Tanjung (81) mantan lurah Lembah Damai tahun 1987, Razali (50) dan abangnya Agusman Bin Idris (dosen Umri), serta Ismail alias Atu (70).

Hanya saja, dari 5 saksi yang dihadirkan, baru 4 orang yang bisa didengar keterangannya dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Bambang Myanto tersebut. Sementara kesaksian Agusman terpaksa ditunda karena jarum jam sudah menunjukan pukul 20.00 WIB.

Hj. Jusni Rifai Tanjung, istri almarhum Ahmad Rifai Tanjung dihadapan ketua majelis hakim Bambang Myanto dan dua hakim anggota, mengaku, bahwa lahan yang dijualnya kepada PT. BMK adalah tanah yang dibelinya tahun 1995 dari suaminya sendiri, Ahmad Rifai Tanjung. Lahan tersebut berlokasi di Kelurahan Lembah Sari (Dulu sebelum pemekaran masuk Kelurahan Lembah Damai), Kecamatan Rumbai Pesisir, Kota Pekanbaru.

Lahan tersebut dibeli Ahmad Rifai Tanjung dari masyarakat melalui Nurdin, tempat dimana saat itu Hj. Jusni menjadi lurah. Namun, saksi mengaku tidak pernah melihat surat jual beli antara suaminya dengan masyarakat maupun dengan Nurdin.

Kendati demikian, pada 1993 saksi membeli lahan tersebut dari suaminya sendiri. Jual beli suami istri ini dipertanyakan Tim kuasa hukum Poniman, Augustinus Hutajulu dkk.

Selaku luruh, saksi kemudian menerbitkan surat ganti kerugian (SKGR) atas tanah tersebut.

Jual beli yang dinilai langka itu, hanya disaksikan anak-anak saksi dan kemudian membubuhkan tanda tangan sebagai saksi.

Kendati dibeli dari almarhum suaminya sendiri, namun Jusni tak ingat lagi luas lahannya yang kemudian pada 2015 dijual ke PT. BMK. Saksi juga tak bisa menjelaskan berapa harga jual lahan itu.

"Tanah tersebut saya beli dari suaminya saya sendiri yang sekarang sudah meninggal. Dan ditanda tangani oleh anak-anak saya sebagai saksi," kata Hj. Jusni yang membuat Tim kuasa hukum Poniman penasaran.

"Apakah dalam perkawinan saksi dengan Ahmad Rifai Tanjung ada perjanjian harta," kata Augustinus menangkap jual beli yang dinilainya janggal.

Menurut Hj. Jusni, selain dirinya, warganya juga ada yang melakukan jual beli lahan dari suami kepada istri.

"Selain saya, juga ada warga saya yang melakukan jual beli antara suami dengan istri," ujar Hj. Jusni sembari menyerahkan surat jual beli tanah antara suami-istri milik orang lain.

Usai dia menjual lahannya kepada PT. BMK, pada suatu hari ada yang menyampaikan kepada saksi bahwa Hinsatopa mau bertemu dengan saksi. Hinsatopa alias Topa menanyakan bahwa tanah dekat jalan kuburan telah dibelinya dari orang lain. Sebaliknya, saksi menyatakan bahwa tanah dekat jalan kuburan itu miliknya.

Saksi mengungkapkan, sebagai pembeli Hinsatopa meminta agar saksi tidak lagi menjual tanah tersebut ke orang lain.

"Saya kenal Topa (Hinsatopa Simatupang) dan terdakwa saat datang bersama ke rumah," kata saksi menceritakan awal perkenalannya dengan Hinsatopa dan terdakwa.

Namun, saksi mengingatkan Topa bahwa tanah yang diklaim itu adalah miliknya dan tidak dijual.

"Itu tanah saya. Dan saya katakan saya tidap pernah menjual tanah tersebut kepada siapapun," ujar saksi.

Dijelaskan saksi, tanah tersebut dibeli suaminya Ahmad Rifai Tanjung pada tahun 1970 an dari masyarakat melalui warga bernama Nurdin. Namun demikian, saksi mengaku tidak melihat surat tanah yang dibeli oleh suami saksi. Pada 1993 seluruh tanah yang dibeli suaminya itu, dibeli saksi. Alasan saksi jual beli suami istri itu, untuk memecahkan surat tanah.

Namun, Saksipun terkejut tanah tersebut diklaim Topa. Selain kepada PT. BMK,  saksi tidak ternah menjual tanah miliknya itu kepada orang lain. Untuk itu, saksi minta agar Topa mau mempertemukan saksi dengan orang yang telah menjual tanah tersebut kepada Topa.

"Setelah dikeluarkan 2 hektar untuk kuburan, selebihnya saya jual ke PT. BMK," ujar saksi.

Sementara saksi Razali, anak dari almarhum Idris menjelaskan, orang tuanya membeli lahan dari Nurdin warga setempat. Lahan yang dibeli orang tuanya berbatas dengan tanah Pemko.

Lahan itu kemudian dirintis (dibersihkan dan dibuat batasnya) oleh 4 orang warga; diantaranya Amal, Yanto.

Kemudian, Idris bersama anaknya Agusman (abang Razali) menjual 2 hektar (100 meter X 200 meter) dari 3 hektar lahan miliknya itu kepada Poniman seharga Rp156 juta. Hanya saja, uang tersebut belum dibayar lunas oleh Poniman.

"Sekarang lahan orang tua saya (Idris) tinggal satu hektar," kata Razali.

Ternyata saat diukur, lahan yang jual Idris bersama anaknya Agusman (saat ini ditahan di Rutan Sialang Bungkuk dalam perkara pemalsuan surat tanah) hanya bertemu 50 meter X 200 meter. Karena 50 meter sudah menjadi bagian dari danau buatan (Objek Wisata Danau Kayangan).

Terkait berkurangnya luas lahan dan masalah pembayarannya yang belum lunas, membuat Razali bersitegang dang abangnya Agusman.

Tentang ukuran dan harga ini, pernah ditanyak saksi kepada Poniman. Jawab Poniman saat itu, masalah ukuran dan pembayaran sudah diserahkan kepada Agusman.

"Saya komplain masalah ukuran yang berkurang dan uangnya. Sebab, bagian saya belum saya terima," ujar Razali lagi.

Dijelaskan saksi, masalah surat menyurat lahan yang dijual itu, diurus Agusman.

Sengketa lahan antara PT. BMK dengan Poniman saat ini tengah bergulir di Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan terdakwa Poniman dengan dakwaan dugaan pemalsuan surat. [rdi]

Terkini