Metroterkini.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan Riau membebaskan terdakwa Frans Katihokang, Manajer Operasional PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) dari seluruh tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ketua Majelis Hakim I Dewa Budhi Dharma Asmara menjelaskan, terdakwa tidak terbukti memiliki kehendak dan melakukan kelalaian yang menyebabkan terjadinya kebakaran lahan di kebun Gondai milik LIH.
“Menyatakan bahwa terdakwa Frans Katihokang tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana seperti dalam tuntutan JPU. Karena itu membebaskan terdakwa dari semua dakwaan dan membebaskan terdakwa dari tahanan,” tegas Gede Dewa saat membacakan putusan majelis hakim, Kamis (9/6) malam.
Dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan, berdasarkan data BMKG, sebelum tanggal 27 Juli 2015 di lahan LIH di Gondai tidak terdapat titik api, tapi di luar lahan LIH sudah ada titik api. Api yang berada sebelah Tenggara itu kemudian berembus ke Barat di mana lokasi kebun Gondai berada.
Fakta bahwa sumber api berasal dari luar lahan LIH terbukti dengan ditemukannya lahan disamping OL 5 milik LIH yang juga terbakar dan lokasi itu ditemukan adanya tanaman karet yang baru berumur 6 bulan.
“Sidang lapangan pada 26 April 2016 membuktikan bahwa lahan diluar LIH terbakar dan ditanami karet. Dari sini sumber api berasal,” ungkap ketua majelis hakim dalam sidang di PN Pelalawan, Kamis (9/6).
Menurut majelis hakim, terdakwa Frans juga tidak terbukti memerintahkan kepada karyawan untuk membuka lahan baru di Gondai. Ini sejalan dengan ketentuan IPOP, dimana sebagai anggotanya LIH dilarang untuk membuka kebun sawit baru di lahan gambut, melakukan pembukaan lahan dengan pembakaran dan merusak ekosistem di sekitar kebun sawit. Dengan ketentuan IPOP ini LIH tidak lagi melakukan pembukaan lahan baru lagi sejak tahun 2014.
“Sehingga motif LIH membakar lahan untuk penanaman sawit di kebun Gondai tidak terbukti,” lanjut majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya.
Majelis hakim dalam pertimbangannya juga menyatakan bahwa kualitas bibit sawit yang tertanam di kebun Gondai sangat baik karena ada sertifikasi dari Socfindo, perusahaan bibit sawit terkemuka di Indonesia. Sehingga tuduhan bahwa pembakaran lahan di kebun Gondai terjadi karena kualitas bibit sawit yang buruk tidak terbukti.
Hakim juga mengabaikan keterangan ahli Basuki Wasis yang dijadikan dasar tuntutan JPU terkait kebakaran di Gondai. Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan bahwa pengambilan sampel uji yang dilakukan oleh ahli Basuki Wasis terhadap materi tanah di lahan Gondai diragukan kebenarannya. Pasalnya metode pengambilan sampenya keliru, sehingga keterangan ahli tersebut di kesampingkan.
“Keterangan ahli Basuki Wasis mengenai kualitas bibit sawit yang buruk dan motif membakar lahan untuk penanaman sawit yang dijadikan dasar tuntutan JPU tidak terbukti,” jelasnya.
Dalam pertimbangan lainnya majelis hakim menyatakan bahwa LIH telah memiliki sarana dan prasarana yang baik untuk antisipasi kebakaran lahan. LIH juga telah menjalankan standar prosedur operasi dalam pencegahan kebakaran lahan.
“LIH sudah memiliki struktur Tim Kesiapan Tanggap Darurat (TKTD) dan tim TKTD telah mendapatkan pelatihan pengendalian lingkungan hidup secara berkala. Sehingga tersangka tidak bisa dipersalahkan dalam masalah kelalaian seperti tuduhan JPU,” ujar majelis hakim.
Kuasa Hukum Frans Katihokang, Hendry Muliana Hendrawan mengapresiasi putusan hakim yang membebaskan kliennya, karena keputusan ini didukung oleh fakta-fakta persidangan dan sesuai dengan keterangan seluruh saksi fakta baik yang didatangkan JPU maupun ahli yang dihadirkan oleh terdakwa selama persidangan.
Terkait dissenting opinion hakim anggota II Ayu Amelia, Hendry menilai bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menggambil pendapat hukum tersebut sangat lemah karena tidak sesuai dengan fakta, tidak memenuhi peraturan dan tidak konsisten. Pasalnya, terdakwa dinilai lalai lantaran tidak mempersiapkan sarana dan prasarana yang baik di kebun Gondai yang berstatus waspada.
Menurut Hendry, yang memiliki status waspada adalah LIH yang juga memiliki kebun di Kemang dan Penarikan, jadi bukan hanya kebun Gondai. Lagipula waktu tempuh 1-1,5 jam dari kebun Kemang sebagai lokasi TKTD ke Gondai yang dipersoalkan hakim Ayu sebagai bentuk kelalaian terdakwa juga tidak relevan.
“Kalau semua alat ditaruh di Gondai dan terjadi kebakaran di Kemang atau Penarikan, maka menjadi salah juga kan?,” tandasnya.
Selain itu Hakim anggota II juga tidak konsisten dalam memberikan pendapatnya. Hakim ini sudah benar ketik mengesampingkan pendapat Prof. Bambang Hero karena adanya keraguan terhadap penerapan metoda seiler dan cruitzen, namun Hakim ini menggunakan asumsi ketika menilai bahwa Laboratorium (Lab) Perlindungan Hutan yang digunakan Prof. Bambang Hero dan Dr. Basuki Wasis dianggap memiliki kompetensi hanya karena kedua ahli dimintai bantuan Polda Riau, padahal Lab Perlindungan Hutan jelas-jelas tidak memiliki sertifikasi yang disyaratkan oleh Keputusan Menteri Pertanian.
Hendry melanjutkan, jika Hakim Anggota II memiliki keraguan terhadap keabsahan hasil Lab karena JPU juga tidak pernah membuktikan adanya sertifikasi tersebut, seharusnya Hakim ini juga mengesampingkan hasil perhitungan dari Lab Perlindungan Hutan.
Hakim II di awal mengakui bahwa dirinya tidak memiliki keahlian di bidang teknis, namun bisa mengambil kesimpulan bahwa sampel yang diambil oleh Dr. Gunawan dan Dr. Basuki Sumawinata tidak valid karena sampel tanah yang diambil mungkin sudah memulihkan diri secara alami, padahal rentang waktu perbedaan pengambilan sampel yang diambil Prof. Bambang Hero dan Dr. Gunawan hanya 3 bulan.
“Jadi penggunaan beberapa asumsi untuk menyatakan pemenuhan unsur jelas sangat keliru dan melanggar prinsip hukum pidana dimana Hakim harus memiliki keyakinan penuh untuk menjatuhkan putusan bersalah,” ujar Hendry. [bas]