Ketua Umum PJI: Distorsi Hukum dalam Kontroversi Ijazah Jokowi Mengancam Fondasi Negara

Ketua Umum PJI: Distorsi Hukum dalam Kontroversi Ijazah Jokowi Mengancam Fondasi Negara

Jatim | Metroterkini.com – Polemik keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mengemuka dan menyeret perdebatan publik pada titik yang, menurut banyak pengamat, semakin menjauh dari rasionalitas hukum. 

Kritik keras datang dari Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), Hartanto Boechori yang menilai diskursus yang berkembang telah berubah menjadi festival sesat pikir yang merusak akal sehat bangsa.

Pernyataan itu merespons sejumlah pendapat dari beberapa ahli hukum yang menyebut penyidikan terhadap Roy Suryo cs yang dilaporkan atas dugaan fitnah terkait ijazah Jokowi tidak layak diteruskan sebelum ada putusan pengadilan mengenai keaslian ijazah. 

Ada pula yang menyebut Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai institusi yang berwenang memutus keaslian ijazah. Argumen itu dinilainya tidak hanya salah, tetapi membahayakan fondasi hukum pidana Indonesia.

“Maaf, ini sudah bukan sekadar keliru. Banyak pendapat ‘ahli’ ini secara terang-benderang menjungkirbalikkan logika hukum paling dasar,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Sabtu (15/11/2025).

Menurutnya, sejumlah media arus utama ikut membesarkan opini yang tidak berdasar tersebut sehingga publik terseret pada kesimpulan yang salah. 

“Saya muak melihat bagaimana narasi menyesatkan terus didorong. Pendapat-pendapat itu bukan hanya tidak tepat, tetapi menyesatkan dan merusak nalar publik,” ujarnya.

Institusi Penerbit Adalah Otoritas Utama

Dalam perkara dokumen pendidikan, otoritas tunggal yang berwenang menyatakan keaslian adalah institusi penerbit seperti universitas atau sekolah. Dalam kasus ijazah Jokowi, lembaga yang paling otoritatif adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sekolah terkait.

UGM sendiri telah beberapa kali menyatakan bahwa dokumen tersebut asli. Archivaris, fakultas, dan pejabat kampus telah memberikan penjelasan terbuka. 

“Ketika institusi penerbit menyatakan dokumen itu asli, secara hukum itu sudah cukup. Pengadilan tidak menciptakan kebenaran, pengadilan hanya mengesahkan apa yang dibuktikan,” tegasnya.

Ia menegaskan, tidak ada satu pun ketentuan KUHP, KUHAP, UU Administrasi Pemerintahan, UU Sistem Pendidikan Nasional, ataupun hukum acara lainnya yang mengharuskan keaslian suatu dokumen diputuskan lebih dulu oleh pengadilan sebelum perkara pidana berjalan.

“Teori ini tidak dikenal dalam literatur mana pun,” katanya.

Beban Pembuktian Ada pada Penuduh, Bukan Korban

Dalam hukum pidana, terutama perkara pencemaran nama baik dan fitnah, beban pembuktian melekat pada penuduh. Prinsip universalnya: Actori incumbit onus probandi, siapa yang menuduh, dialah yang wajib membuktikan.

“Korban tidak wajib membuka dokumen pribadinya. Tidak wajib membuktikan dirinya tidak bersalah. Ini prinsip absolut dalam hukum pidana,” tegasnya.

Ia menilai tuntutan sejumlah pihak agar Jokowi menunjukkan ijazah dan membuktikan keasliannya sama sekali tidak berdasar. “Menurut saya itu keliru total. Bahkan lucu. Para akademisi itu tidak bodoh, tapi pola berpikir mereka bodoh."

Ia menambahkan bahwa akademisi pun bisa terjebak dalam bias politik. “Sama seperti radikalis. Banyak yang tidak bodoh, tetapi pola pikirnya dibajak. Kita sedang melihat fenomena itu.”

PTUN: Salah Kamar, Salah Logika

Dalam penjelasannya, ia menyebut pendapat yang mendorong agar keaslian ijazah diputuskan lewat PTUN sebagai salah satu kekeliruan paling fatal.

PTUN hanya berwenang mengadili sengketa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yakni keputusan administratif pejabat pemerintah. Ijazah bukan KTUN, dan UGM bukan pejabat TUN.

“Menggugat ijazah ke PTUN sama absurdnya dengan menguji SIM di Pengadilan Agama atau mempersoalkan akta lahir di Pengadilan Niaga. Itu ngawur. Salah kamar.”

Menurutnya, pemaksaan logika semacam itu hanya menunjukkan rendahnya literasi hukum publik—bahkan di kalangan akademisi.

Penyidikan Roy Suryo Cs Harus Jalan

Ia menegaskan penyidikan terhadap Roy Suryo cs harus dilanjutkan. Bukan hanya layak, tapi secara hukum wajib.

“Unsur pidananya jelas: menuduh tanpa dasar yang dibuktikan penuduhnya. Bila penuduh tidak mampu membuktikan, itu fitnah. Negara hukum tidak boleh tunduk pada kebisingan politik yang tidak berdasar.”

Ia menilai penyidik justru salah bila menunggu keaslian ijazah diputuskan dulu di lembaga lain. “Jika itu dilakukan, itu pembodohan hukum oleh aparat. Polisi akan lumpuh. Pelaku fitnah tinggal bilang: ‘Tunggu dulu, buktikan objeknya secara perdata!’ Dan negara akan runtuh.”

Sikap yang benar, katanya, adalah penyidik meminta alat bukti dari penuduh. Bila tidak ada, unsur terpenuhi. Berkas bisa dilimpahkan ke kejaksaan.

Data: Rekam Jejak Hoaks Pendidikan

Menurut catatan Kementerian Kominfo, sejak 2015 hingga 2024, lebih dari 430 konten hoaks terkait dokumen pendidikan dan identitas pejabat negara beredar di media sosial. Tren terbesar terjadi menjelang pemilu 2019 dan 2024.

“Kita menghadapi pola sistematis. Hoaks tentang ijazah, KTP, akta kelahiran, sering digunakan sebagai senjata delegitimasi politik,” katanya.

Karena itu ia menilai negara harus tegas. “Jika dibiarkan, standar hukum publik akan rusak. Lebih berbahaya dari korupsi, karena ia merusak nalar kolektif bangsa.”

Saatnya Mengembalikan Logika Hukum

Ia menutup dengan lima poin koreksi mendesak:

1. Logika hukum harus lurus, bukan dijungkirbalikkan.

2. Beban pembuktian berada pada penuduh.

3. PTUN tidak punya relevansi dalam isu keaslian ijazah.

4. Penyidik wajib memproses fitnah tanpa menunggu putusan pengadilan lain.

5. Otoritas keaslian ijazah berada pada lembaga penerbit, bukan pada hakim.

“Bayangkan bila setiap pejabat bisa dijatuhkan hanya dengan satu hoaks dan dipaksa membuktikan keaslian dokumennya di pengadilan. Negara ini bisa keok bukan karena korupsi, tapi fitnah. Kita membuka era baru, info hoaks menjatuhkan negara. Itu tidak boleh terjadi.”(DPP PJI)

Berita Lainnya

Index