Metroterkini.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI memeriksa laporan keuangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tahun anggaran 2022.
Hasilnya, BPK RI memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan Pemprov DKI 2022. Dengan perolehan itu, Pemprov DKI secara berturut-turut memperoleh WTP enam kali sejak 2017.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan BPK termasuk implementasi atas rencana aksi yang telah dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian atas Laporan Keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun anggaran 2022," ujar Ahmadi saat rapat.
Di satu sisi, ia tetap meminta Pemprov DKI agar semakin terpacu untuk meningkatkan akuntabilitas serta transparansi keuangannya.
"Dengan demikian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berhasil mempertahankan opini wajar tanpa pengecualian yang keenam kalinya," kata Ahmadi.
Namun, meski mendapatkan WTP, Pemprov DKI mendapatkan sejumlah catatan dari BPK.
Menurut Ahmadi, terdapat sejumlah masalah terkait pengelolaan keuangan Pemprov DKI yang terjadi pada 2022. Persoalan pertama, kata Ahmadi, bantuan sosial (bansos) Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) senilai Rp 197,55 miliar belum disalurkan.
Berdasarkan laporan yang sama, berkait bansos, program pemenuhan kebutuhan dasar senilai Rp 15,18 miliar juga belum disalurkan.
Ahmadi melanjutkan, selain masalah soal bansos, terdapat persoalan dalam laporan keuangan Pemprov DKI tahun 2022.
Persoalan kedua, yakni kelebihan pembayaran atas belanja dan denda keterlambatan dengan total nilai Rp 45,87 miliar. Kelebihan pembayaran atas belanja Rp 11,34 miliar.
Rinciannya, kelebihan perhitungan gaji dan tambahan penghasilan senilai Rp 6,39 miliar. Kemudian, kelebihan volume pengadaan barang/jasa sebesar Rp 4,06 miliar serta kelebihan pembayaran belanja hibah dan bansos senilai Rp 878 juta.
Sementara itu, denda keterlambatan nilainya 34,53 miliar. Denda keterlambatan adalah sanksi yang dikenakan pemerintah kepada kontraktor atau penyedia barang/jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak.
Pemprov DKI mestinya menerima Rp 34,53 miliar dari kontraktor atau penyedia barang/jasa atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
Namun, uang itu belum semuanya diterima Pemprov DKI sehingga menjadi catatan BPK.
"Sedangkan denda keterlambatan adalah senilai Rp34,53 miliar. Atas permasalahan tersebut telah dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp14,66 miliar," sebut Ahmadi.
Persoalan selanjutnya, Pemprov DKI dinilai belum tertib terkait penatausahaan penyerahan dan pencatatan aset berupa fasilitas sosial dan fasilitas umum.
Bentuk ketidaktertiban itu adalah ada dua bidang lahan fasilitas sosial/fasilitas umum yang telah diterima dari pemegang surat izin penguasaan penggunaan tanah (SIPPT) senilai Rp 17,72 miliar yang masih berstatus sengketa.
Kemudian, penerimaan aset fasilitas sosial/fasilitas umum yang belum dilaporkan oleh wali kota di DKI kepada Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD). Lalu, aset fasilitas sosial/fasilitas umum yang dikuasai atau digunakan pihak lain tanpa perjanjian.
"Serta aset fasilitas sosial/fasilitas umum berupa gedung, jalan, saluran, dan jembatan dicatat dengan ukuran yang tidak wajar yaitu 0 meter persegi atau 1 meter persegi," urai Ahmadi.
Respons Heru Budi
Sementara itu, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono berujar, perolehan opini WTP atas laporan keuangan Pemprov DKI 2022 bukanlah tujuan akhir.
"Perolehan opini WTP ini bukan tujuan akhir. Namun, bagian dari upaya peningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan di lingkup Pemprov DKI yang telah dilakukan pada tahun 2022," kata dia.
Ia menjelaskan, setidaknya ada enam langkah untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan Pemprov DKI.
Pertama, pengimplementasian sistem informasi untuk mengelola keuangan Pemprov DKI. Kemudian, pengembangan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) dalam mengelola dan melaporkan keuangan daerah.
"Ketiga, penetapan peraturan dan pembenahan tata kelola keuangan daerah," ujar Heru.
Langkah keempat, peninjauan laporan keuangan dengan skema pendekatan berbasis risiko (risk based review). Kelima, penguatan sistem pengendalian internal melalui pengawasan oleh kepala perangkat daerah dan pendampingan oleh Inspektorat.
Terakhir, yaitu percepatan tindak lanjut atas laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI terhadap laporan keuangan Pemprov DKI 2022.
"Saya mengharapkan bimbingan, saran, masukan, maupun koreksi yang membangun dari BPK RI Perwakilan DKI sehingga akuntabilitas pengelolaan keuangan Pemprov DKI dapat dipertahankan dan ditingkatkan di masa-masa yang akan datang," tutur Heru.
Kata Disdik soal KJP Plus-KJMU Soal KJP Plus dan KJMU yang tak kunjung cair, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdik DKI Syaefuloh Hidayat berujar, penyalurannya tersendat karena ingin memastikan keberadaan pihak penerima.
"Terkait dengan penyaluran KJP dan KJMU, kami harus hati-hati betul untuk memastikan bahwa penerima itu betul ada," ujar dia di Gedung DPRD DKI Jakarta.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan Disdik DKI hendak memastikan keberadaan pihak penerima KJP Plus dan KJMU. Salah satu di antaranya, yakni sang penerima ada yang sudah pindah ke luar Ibu Kota.
Kemudian, kata Syaefuloh, ada juga penerima KJP Plus atau KJMU yang sudah meninggal dunia. "Itu yang terus kami telusuri untuk memastikan bahwa penerima bantuan itu adalah yang benar-benar berhak," sebutnya. [**]