Taiwan Serukan Siap Tempur Lawan China

Taiwan Serukan Siap Tempur Lawan China

Metoterkini.com - Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu mengatakan mereka perlu bersiap untuk kemungkinan terlibat konflik militer dengan China, mengingat intimidasi tak henti dari Beijing terhadap pulau itu.

Peringatan itu muncul usai Taiwan melaporkan serangan terbesar dari China, berupa 28 pesawat tempur, dan bomber pada pekan lalu yang dinilai sebagai pamer kekuatan.

"Sebagai pengambil keputusan Taiwan, kami tidak bisa mengambil risiko, kami harus siap," kata Wu kepada CNN, Rabu (23/6).

"Ketika pemerintah China mengatakan mereka tidak akan melepas kekuatannya, dan mereka melakukan latihan militer di sekitar Taiwan, kami lebih percaya bahwa itu nyata."

Pada Mei lalu, Wu dituduh Beijing sebagai "separatis garis keras", setelah menyatakan Taiwan akan berjuang sampai akhir jika diserang China.

Menurut juru bicara kantor urusan Taiwan China Zhu Fenglian, Joseph Wu berulang kali memprovokasi kemerdekaan Taiwan. Dan ia akan mengambil tindakan untuk menghukum seberat-beratnya para 'separatis' sesuai dengan hukum.

Namun, Wu justru merasa terhormat menjadi sasaran otoritas Beijing.

"Otoritarianisme tidak dapat mentolerir kebenaran. Jika mereka terus mengatakan bahwa mereka ingin mengejar saya selama sisa hidup saya, saya tidak terlalu peduli tentang itu," katanya.

Taiwan memiliki pemerintahan sendiri pada 1949, sejak perang saudara berakhir. Dalam perang itu para nasionalis yang kalah melarikan diri ke Taipei.

Namun, China terus memandang Taiwan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayahnya, meskipun mereka tidak pernah memerintah pulau yang berpenduduk sekitar 24 juta orang itu.

Pada 2019, Presiden China Xi Jinping meminta Taiwan untuk bersatu kembali secara damai, tetapi menolak untuk mengesampingkan penggunaan kekuatan. Ancaman aksi militer, terutama yang berkaitan dengan kegiatan "separatis" tetap menjadi ancaman bagi Taiwan.

Status quo baru muncul 30 tahun lalu, saat Beijing dan Nasionalis Taiwan mengakui sikap "satu China." Sejak saat itu, sikap tersebut ditafsirkan secara berbeda oleh kedua belah pihak.

Pemimpin Taiwan saat ini, Presiden Tsai Ing-wen, dan partainya telah lama menolak dengan apa yang disebut "Konsensus 1992".

Sebaliknya, dia telah berulang kali mendesak Beijing untuk mengakui kedaulatan Taiwan dan keinginan rakyatnya.

Wu mengatakan Taiwan tidak dapat menerima penyatuan dengan China. Terutama, karena peristiwa di Hong Kong yang menunjukkan bahwa menjaga kedaulatan Taiwan sangat penting untuk melindungi posisinya sebagai satu-satunya negara demokrasi berbahasa China di dunia.

Penerapan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong, kata Wu, telah digunakan untuk membungkam gerakan pro-demokrasi kota tersebut.

Undang-undang itu mengkriminalisasi apa yang oleh pihak berwenang dianggap sebagai tindakan subversi, pemisahan diri dan kolusi dengan kekuatan asing. Selain itu, juga digunakan untuk mengikis kebebasan pers dan memenjarakan aktivis pro-demokrasi dan lawan pemerintah.

"Jika Anda melihat situasi di Hong Kong, ini adalah tragedi modern," kata Wu.

Dia merujuk penutupan media pro-demokrasi terbesar di Hong Kong, Apple Daily, sebagai tanda tumbuhnya intoleransi China terhadap kebebasan di wilayah administrasi khusus.

"Apple Daily di Hong Kong adalah simbol jurnalisme independen, dan motivasi pemerintah China adalah untuk merobohkan simbol itu. Sangat menyedihkan bagi saya untuk melihat apa yang terjadi," ucap Wu.

"Taiwan sudah menjadi negara demokrasi. Ketika sebagian besar orang di sini, di Taiwan mengatakan 'tidak' pada satu hal, tidak ada pemimpin politik yang akan mendukung gagasan itu," ujar dia.

Wu menunjukkan bahwa penduduk Taiwan ingin mempertahankan status quo: presiden dan parlemen yang dipilih secara demokratis, kekuatan militer yang terpisah, dan wewenang untuk mengeluarkan visa dan paspornya sendiri.

"Status quo akan mencakup Taiwan yang tidak dijalankan atau diperintah oleh Republik Rakyat China," katanya.

Wu juga menekankan Taiwan bersedia bekerja sama untuk mencapai perdamaian di Selat Taiwan. Dia meminta para pemimpin China untuk bersama-sama berjuang agar bisa hidup berdampingan secara damai dan berkelanjutan.

"Saya pikir itu adalah tanggung jawab bersama antara Taiwan dan China untuk memiliki hubungan damai dan sipil antara kedua belah pihak," ucap Wu.

Orang-orang di Taiwan, lanjut Wu, menginginkan perdamaian, dan itu juga yang diinginkan oleh pemerintah Taiwan.

"Dan selain perdamaian, kami juga menginginkan dialog antara Taiwan dan China. Tapi tentu saja, dibutuhkan dua orang untuk berunding."

Perang Hibrida

Selain mengirim pesawat tempur di sekitar wilayah udara Taiwan, Wu menuduh China menggunakan perang hibrida untuk merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi di pulau itu.

"(China) menggunakan perang kognitif, kampanye disinformasi dan intimidasi militer untuk menciptakan banyak kecemasan di antara orang-orang Taiwan," kata Wu.

Menlu itu menuduh entitas yang disponsori Beijing merilis berita palsu untuk memecah populasi Taiwan, termasuk pesan yang membesar-besarkan jumlah kematian akibat Covid-19 di pulau itu.

Dia juga menuduh buzzer China menyebarkan desas-desus palsu bahwa Amerika Serikat lebih memilih untuk memvaksin hewan peliharaan rumah tangga daripada mengirim lebih banyak vaksin ke Taiwan.

Padahal AS telah mengirimkan 2,5 juta dosis vaksin ke pulau itu.

Wu juga menekankan pentingnya Taiwan di tengah ambisi teritorial China yang berkembang di atas Laut China Selatan dan sekitarnya.

"Ini tentang otoritarianisme China yang mencoba memperluas pengaruhnya sendiri. Jauh melampaui perbatasannya, bahkan ke belahan bumi Barat," kata dia.

"Mereka ingin menjalankan pemerintahan otoriter mereka dan memaksakan tatanan internasional yang otoriter."

China menghabiskan sekitar 15 kali anggaran Taiwan untuk pertahanan, sementara pulau itu mereformasi militernya untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan militernya sendiri.

"Kita harus terlibat dalam perang asimetris, sehingga China memahami bahwa ada biaya tertentu yang harus dibayar jika mereka ingin memulai perang melawan Taiwan." [**]

Berita Lainnya

Index