UGM Rancang Bilik Disinfektan Berbasis Udara Panas

UGM Rancang Bilik Disinfektan Berbasis Udara Panas

Metroterkini.com - Penyemprotan cairan disinfektan untuk mencegah penyebaran Virus Corona atau COVID-19 terungkap memiliki sejumlah kekurangan. Untuk menjawab persoalan itu, Departemen Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) membuat bilik disinfektan berbasis aliran udara panas.

"Departemen Teknik Mesin dan Industri FT UGM membuat bilik dengan basis aliran udara panas guna mengatasi berbagai kelemahan dalam bilik cara aerosol," ujar Guru Besar FT UGM, Prof Samsul Kamal dalam keterangan tertulisnya kepada detikcom, Selasa (31/3/2020) .

Samsul membeberkan sejumlah kekurangan dari bilik yang menyemprotkan cairan disinfektan. Bilik yang kini banyak dibuat dan dipakai secara massal itu digunakan dengan cara menyemprotkan cairan disinfektan ke dalam bilik sehingga menghasilkan aerosol atau droplets kecil cairan disinfektan di dalam udara.

"Harapannya adalah agar aerosol tersebut memenuhi seluruh ruangan bilik dan 'membunuh' droplet virus yang menempel pada permukaan-permukaan di atas," jelas Samsul.

Samsul menjelaskan, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan sinar UV (ultra violet) di dalam bilik untuk maksud yang sama. Beberapa studi menginformasikan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk membunuh atau menonaktifkan virus menggunakan UV itu lebih lama dibanding menggunakan aerosol disinfektan.

Di samping itu sinar UV juga merusak kolagen, yang merupakan protein pada kulit manusia. Maka, lanjut Samsul, UV bisa menyebabkan kerutan (wrinkles) dan kanker kulit. Oleh karena itu bilik dengan cara aerosol lebih umum digunakan.

Berdasar pengamatan pada pemanfaatan bilik aerosol, ada beberapa kelemahan yang sangat mungkin terjadi. Kelemahan tersebut antara lain:

1. Belum ada kajian kajian ilmiah yang memberikan hasil prosentase virus yang dapat dinonaktifkan dari permukaan (orang khususnya) di dalam bilik (kalau kajian jumlah virus yang dapat dinonaktifkan pada berbagai permukaan dengan aerosol di dalam uji laboratorium tentu sudah banyak).

2. Aliran aerosol di dalam bilik tidak cukup kencang untuk dapat masuk ke permukaan-permukaan tersembunyi seperti lipatan baju, sela-sela anggota badan dsb.

3. Permukan-permukaan yang mudah teriritasi atau sensitif terhadap aerosol cairan disinfektan seperti mata, kulit wajah dsb menjadi kurang nyaman.

4. Penggunaan aerosol membutuhkan pelayanan saat beroperasi yaitu menjaga terdapatnya cairan disinfektan di dalam tandon.

5. Aerosol yang terakumulasi di dalam bilik, lama kelamaan memberikan kondisi basah yang kurang nyaman di bagian bawah bilik.

6. Pemakaian cairan disinfektan berlebih justru berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan

7. Ada kemungkinan terdapatnya droplet virus yang luput dari cakupan aerosol dan lepas dari permukaan yang pada akhirnya justru dapat menginfeksi orang yang masuk belakangan.

Samsul menilai, perbaikan terhadap bilik disinfektan cara aerosol menjadi sangat penting untuk dilakukan. Mengingat kepastian bahwa orang yang masuk bilik disinfektan harus sudah bebas dari virus Corona dan atau virus tersebut juga dipastikan terbunuh di dalam bilik. Sedangkan di sisi lain, cara yang digunakan harus aman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Penelitian menunjukkan, ungkap Samsul, struktur virus Corona yang bagian luarnya adalah lipid (fat) dapat dirusak atau dibuat menjadi dalam kondisi tidak bisa aktif menggunakan panas. Panas akan mencairkan lipid (fat) dan oleh karena itu sering dianjurkan untuk mencuci tangan menggunakan air hangat sekitar 25 derajat Celsius.

Samsul menyebut beberapa hasil penelitian pengaruh temperatur dan kelembaban (humidity) terhadap kondisi aktif virus menyebutkan bahwa virus Corona akan mudah terbunuh pada temperatur sekitar 56 derajat Celsius pada kelembapan ruangan.

Penelitian lainnya menginformasikan, virus Corona akan lebih cepat tidak aktif pada temperature 40 derajat Celsius dibanding pada 20 derajat Celsius.

"Jadi pada intinya makin tinggi temperatur, maka Coronavirus akan makin mudah untuk menjadi tidak bisa aktif (inactive/'terbunuh') atau decay," kata Samsul.

Samsul menyertakan gambar skema bilik disinfektan berbasis udara panas. Dia menjelaskan bilik tersebut terdiri dari dua ruangan atau chamber. Ruangan pertama atau ruangan walkthrough dan ruangan kedua atau ruangan pembunuh (killing chamber) virus.

"Udara masuk ke dalam ruang walkthrough pada kondisi kecepatan aliran yang cukup melalaui fan pertama dan dipanasi menggunakan pemanas listrik rendah hingga sekitar 60 derajat Celsius. Pada ruangan walkthrough droplet yang menempel pada permukaan baju, peralatan dan kulit orang akan terbawa atau teruapkan oleh aliran udara panas rendah," urai Samsul.

Aliran udara panas rendah, jelasnya, mampu untuk melingkupi seluruh permukaan karena kecepatannya. Sehingga dapat dipastikan bahwa droplet virus Corona terlepas dari permukaan atau teruapkan oleh aliran udara panas rendah.

Setelah itu, aliran udara yang mengandung droplet berisi virus Corona maupun virus Corona yang terlepas karena penguapan droplet, dihisap masuk ke killing chamber melalui fan kedua dan pemanas listrik tinggi dan dirancang mampu mencapai temperature sekitar 130 derajat Celsius.

"Pada ruangan killing chamber dengan temperatur tersebut dapat dipastikan Coronavirus yang hanya diselubungi oleh lemak dan protein akan rusak. Killing chamber dibuat tertutup di kedua sampingnya untuk memastikan tidak ada droplet atau aliran keluar killing chamber kecuali lewat filter. Tutup samping juga diisolasi panas untuk safety orang sekitar," tutupnya. [dtk-met]
 

Berita Lainnya

Index