Metroterkini.com - Tenaga honorer Riau ikut melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait atas tidak adanya rasa keadilan pemerintah yang mempekerjakan honorer tanpa kepastian kesejahtaran dan payung hukum yang jelas. Bahkan lahir UU nomor 5 tahun 2014 tentang ASN sama sekali tidak ada membahas guru honorer.
"Saya selaku Koordinator Guru Honorer Riau ikut menggugat. Kami dari pekerja honorer, atau dalam sebutan lain pegawai pemerintah non-PNS berhimpun di Mahkamah Konstitusi untuk mendaftarkan permohonan Judicial Review UU Nomor 5 Tahun 2014 (UU ASN). Ada pasal yang kami mohonkan adalah Pasal 6 huruf b, tentang kriteria ASN. Pasal 58 ayat 1 dan 2 tentang pengadaan PNS. Pasal 99, tentang pengangkatan PPPK," sebut koordinator Riau Mahmudin SPd, Rabu (15/1/2020).
Dikatakan Ketua Forum Guru Bantu Riau ini, sebagai pemohon ia merasa bahwa hak kontitusional sebagai warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 telah dirugikan, terutama termaktub dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) tentang hak atas dasar pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijelaskan bahwa “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 28 D ayat (2) "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja“.
Pasal 28 I ayat (2) "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
"Dalam hal permohoanan ini kami didampingi LBH SBSI. Ketua Tim Hukum Paulus Sanjaya SH MH, Hecrin Purba SH dkk. Dalam prosesnya nanti kami juga menyiapkan saksi ahli dan saksi fakta untuk mendukung permohonan tersebut. Diantaranya Prof Mochtar Pakpahan, Prof Yusril Ihza Mahendra, Dr Ahmad Redy Beserta Tim Ahli," ungkap Mahmudin.
Adapun Daftar Keterwakilan peserta berdasarkan Provinsi dalam Permohonan JR UU ASN adalah Riau, Jateng, Jabar, Banten, Sumsel, Sumut, Gorontalo, NAD, Kalsel, Jambi, NTT, NTB dan Kepri.
Dengan rincian profesi pekerja yang melakukan permohonan tersebut diantaranya, Tenaga Pendidik dan Kependidikan (Guru Honorer, Penjaga Sekolah Honorer Sekolah Negeri, Operator Sekolah Negeri) Pegawai Honorer Teknis dan Administrasi, Tenaga Kesehatan (Perawat Honorer pada Instansi Pemerintah dll).
"Dalam kesempatan ini pula perlu kami sampaikan bahwa apa yang kami lakukan bukanlah perbuatan melawan pemerintah. Kita hanya menggunakan hak konstitusional sebagai warga negara yang sudah barang tentu dijamin oleh UUD 1945," lanjut Mahmudin.
"Kepada saudara kami honorer yang tidak bergabung dalam hajatan konsitusi ini, perlu pula kami sampaikan, bukan kami tak ingin menunggu Revisi UU ASN yang dijanjikan oknum DPR. Namun kami beranggapan, sudah cukup kami memberi kesempatan kepada parlemen dan pemerintah untuk melakukan revisi UU ini, bahkan pada periode DPR 2014-2019 kita sudah memberikan waktu kurang lebih 4 tahun agar DPR dan Pemerintah melakukan revisi terkait aturan tersebut," jelas Yolis Suhadi SH, aktivis honorer Indonesia dari Jambi ini.
"Bahkan Surat Presiden yang memerintahkan kepada kementerian terkait untuk membahas revisi inipun telah pernah diterbitkan, namun sampai DPR habis masa bakti/berganti dan pekerja honorer banyak yang mati, namun Revisi tak kunjung jadi dan kini revisi dijanjikan lagi," tambahnya.
Disebutkan Yolis, jika ada yang menjanjikan kalau UU ASN sudah masuk prolegnas pihaknya sudah tidak mau dibuai janji.
"Maaf kami tak mau jadi korban janji revisi. Sebab berkaca dari UU KPK, MD3 dan beberapa UU lain, tanpa perlu ke Prolegnas-pun RUU disahkan menjadi UU," cetusnya mengkritisi.
"Kita memang bisa menunda, namun kami berkeyakinan waktu tidak bisa menunggu. Maka dari itu, kami berhimpun dalam wadah besar persamaaan pandangan, melepaskan egosektoral organisasi honorer, melepaskan baju kepentingan apapun, dengan satu tekad merdekakan honorer 100 persen atau matikan saja honorer 100 persen," tegas honorer Pemprov Jambi ini. [***]