Metroterkini.com - Laporan bersama Rainforest Action Network (RAN), TuK INDONESIA, Jikalahari, WALHI dan Profundo menyoroti pengaruh besar sektor keuangan dalam mengubah perilaku perusahaan penyebab kebakaran hutan.
“Lembaga keuangan saat ini mengabaikan kewajiban mereka, regulator keuangan seperti OJK harus melakukan pengawasan secara ketat, dan mewajibkan bank melakukan review pembiayaan perusahaan penyebab Karhutla," ungkap Edi Sutrisno dari TuK INDONESIA.
Menurut ada 17 kelompok perusahaan yang diidentifikasi oleh pemerintah terlibat dalam kebakaran pada 2019 telah menerima setidaknya 19 miliar Dolar AS dalam bentuk pinjaman korporasi dan fasilitas penjaminan sejak tahun 2015.
Dalam sebuah laporan menjelaskan bagaimana bank-bank dari Cina, Indonesia, Malaysia, Taiwan, Singapura dan Jepang ikut mendanai aktivitas ilegal tersebut.
Analisis tambahan oleh Rainforest Action Network juga mengungkapkan pembiayaan perusahaan yang bertanggung jawab terhadap krisis asap ini menjadi masalah lintas batas, karena sebagian besar pendanaan keuangan berasal dari bank-bank di ASEAN dan lembaga keuangan di Asia Timur.
Sementara Made Ali dari Jikalahari juga menegaskan, bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia tidak akan pernah selesai selama masih ada bank-bank yang mendanai korporasi pembakar hutan.
“Ini seperti terus menyiram bensin ke api. Perusahaan secara terorganisir terlibat dalam penggunaan api di konsesi mereka dan sengaja terus membuka lahan gambut yang mudah terbakar sehingga kebakaran terus terjadi. Namun bank terus menawarkan perusahaan-perusahaan ini pinjaman tanpa terbebani tanggung jawab untuk mendanai operasi legal dan berkelanjutan," ujarnya.
Untuk diketahui panitia khusus yang ditunjuk DPRD Riau pada tahun 2015 menemukan satu diantaranya pengemplangan pajak perusahaan HTI raksasa di provinsi di Riau, yaitu Asia Pulp and Paper (Grup Sinar Mas) dan APRIL (Grup Royal Golden Eagle) dalam memanipulasi angka produksi agar menurunkan nilai pajak yang dibayarkan.
Selain itu juga ditemukan bahwa hanya 35% perkebunan sawit di Riau yang memiliki HGU, sedangkan 65% sisanya merupakan perkebunan yang melakukan penanaman ilegal di dalam kawasan hutan, tidak memiliki izin, atau melakukan ekspansi melampaui batas konsesinya.
Provinsi Riau diperkirakan mengalami kerugian senilai 20 triliun rupiah (1,4 miliar Dolar AS) per tahun, atau lebih dari dua kali lipat anggaran Provinsi Riau untuk tahun fiskal 2019.
Berdasarkan audit sektor sawit yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2016 juga ditemukan maraknya korupsi dalam proses penerbitan izin perkebunan, yang berujung pada konflik sosial, kerugian fiskal negara, dan deforestasi ilegal.
Wahyu Perdana dari WALHI Nasional berharap agar Bank-bank di Indonesia bisa ikut mendorong perbaikan tata kelola kehutanan dan perkebunan.
"Sebagai sumber keuangan utama bagi industri kehutanan dan perkebunan, bank-bank ini seharusnya mewajibkan klien mereka untuk patuh terhadap seluruh peraturan perundangan Indonesia, termasuk tunduk pada regulasi terkait restorasi gambut," ujar Wahyu dalam rilis yang diterima redaksi, Rabu (11/12/2019).
Laporan ini juga meninjau lima kasus bank yang mendanai para nasabah yang beroperasi di industri kehutanan dan perkebunan yaitu :
1. Bank Negara Indonesia (BNI) dengan Grup Korindo.
2. Bank Central Asia (BCA) dengan Grup Salim
3. Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan Grup Sinar Mas
4. Bank Mandiri dengan Astra Agro Lestari.
5. Maybank dengan Triputra.
Tambahnya lagi, OJK diharapkan bisa meningkatkan perencanaan strategis dengan memulai proses penyusunan peta jalan keuangan berkelanjutan periode 2020-2029, yang memastikan keterlibatan para pemangku kepentingan.
Sedangkan bank dan investor wajib mengembangkan dan menerbitkan kebijakan pinjaman sektor kehutanan yang baru, termasuk sistem manajemen risiko.
Harapnya, Bank juga perlu meningkatkan kepatuhan mereka dengan memperbaiki laporan keberlanjutan yang diwajibkan OJK dan kewajiban keterbukaan lainnya. [***]