Tambak Udang di Pulau Bengkalis Perlu Ditata Ulang

Tambak Udang di Pulau Bengkalis Perlu Ditata Ulang

Metroterkini.com - Akhir-akhir ini bisnis udang tambak menjadi primadona oleh pengusaha lokal maupun luar untuk menanamkan investasinya di Pulau Bengkalis. Seperti di Teluk Pambang Kecamatan Bantan, sejumlah pengusaha terus membabat hutan bakau dan tidak ada kontrol dari dinas terkait seperti.

Pengamatan di lapangan selama ini, penambak selama ini memanfaat hutan bakau di lahan yang sudah terbiar berpuluh tahun. Lahan nenek moyang warga Teluk Pambang ini telah ditenggelami air pasang dan ditumbuhi hutan bakau dan merupakan daerah penyangga dari air pasang bagi lahan masyarakat yang masih aktif.

Terlihat, ratusan hektar telah dimanfaatkan para penambak, baik dari pengusaha lokal maupun pengusaha dari luar Provinsi Riau.

Mereka hanya memiliki surat lahan dari Kepada Desa yang seterusnya sebagian menjadi sertifikat diatas lahan bakau tersebut. Semuanya, menurut sejumlah warga, itu bisa dilakukan atas kerjasama antara aparat desa yang diduga tidak mengerti aturan.

Dikutip media ini dari sejumlah sumber, seperti disampaikan Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna mengatakan, bakau memiliki nilai penting bagi lingkungan. Selain sebagai pencegahan dampak kerusakan lingkungan dan bencana, bakau memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai tempat pemijahan biota laut.

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki sebaran ekosistem bakau terluas di dunia. Tercatat, dari 16,53 juta hektare bakau di dunia, lebih dari 20 persen atau 3,49 juta hektare hutan bakau tumbuh di sepanjang 95 ribu kilometer pesisir Indonesia. Dari luasan itu, sejumlah 1,67 juta hektare dalam kondisi baik dan 1,82 juta hektare hutan bakau dalam kondisi rusak.

Menurut data Center for International Forestry Research atau CIFOR, saat ini ekosistem bakau mengalami tekanan dengan ancaman laju degradasi yang tinggi mencapai 52 ribu hektare per tahun. Ancaman tersebut berupa alih fungsi lahan untuk industri, permukiman, tambak, pencemaran limbah domestik, limbah berbahaya lainnya, illegal logging, dan lain-lan.

Ancaman tersebut mengakibatkan Indonesia kehilangan potensi karbon senilai 3,1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) per tahunnya," kata Montty.

Montty menjelaskan, untuk mendukung pengelolaan ekosistem bakau yang berkelanjutan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional pengelolaan Ekosistem Mangrove. 

Peraturan tersebut mengamanatkan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Pengarah Tim Koordinasi Nasional untuk menetapkan kebijakan, strategi, program dan indikator kinerja pengelolaan ekosistem bakau.

Sehubungan dengan hal tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja, Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional. Dalam Permenko itu ditetapkan target ekosistem mangrove berkategori baik seluas 3,49 juta hektare pada tahun 2045. Ini artinya diperlukan pemulihan ekosistem mangrove seluas 1,82 juta hektare, ujarnya.

Lebih lanjut, melalui pemulihan dan pengelolaan ekosistem bakau yang berkelanjutan tersebut juga sebagai bagian kontribusi untuk target penurunan emisi Indonesia sebesar 29 persen pada 2030 .

Setelah diundangkannya Permenko tersebut, diharapkan kementerian atau lembaga penanggung jawab agar segera menyusun rencana aksi di masing-masing instansi. Serta mengarusutamakan pengelolaan ekosistem bakau dalam program-program kerja kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah. [***]


 

Berita Lainnya

Index