Politik Warung Kopi Sepi di Bulan Suci Ramadhan

Politik Warung Kopi Sepi di Bulan Suci Ramadhan

Metroterkini.com - Berbicara mengenai warung kopi hari ini, tidak terlepas dalam suatu perkumpulan yang hari ini selalu diawali dan diakhiri dengan adanya perbincangan mengenai dunia politik, dimana posisi alunan ceritanya selalu dimaknai dengan santai dan pada ujung ceritanya diakhiri tanpa tanda titik

Dalam cerita warung kopi selalu menceritakan bagaimana karakter orang, pandangan analisis politik kalau dalam dunia kuliah mungkin sudah mencapai 4 sampai 8 sistem kredit semeter (SKS) tanpa tanda ada akhirnya. Ceritanya selalu berlanjut dari meja satu sampai kemeja lainnya sampai warung kopi hingga itu tutup.

Warung kopi saat Ini, menjadi tempat yang sangat terbuka bagi siapa pun tanpa mengenal ras, agama, suku, kelompok sosial seperti pedagang, petani, nelayan,  dan lain lain sebagainya yang selalu nyantai nongkrong dengan bermodalkan kopi satu gelas bisa mendapatkan informasi melalui pembicaraan dari meja kemeja mengenai budaya politik yang sangat hangat.Tiada hari diwarung kopi tanpa membicarakan mengenai wawasan perpolitikan yang selalu berulang-ulang tanpa batas perbincangannya.

Dalam istilah forum diskusi biasanya selalu ada yang namanya moderator pemandu diskusi, itu bedanya.Kalau diskusi warung kopi sifatnya tidak resmi tapi banyak diminati oleh banyak kelompok sosial.

Terkadang kalau kita analisis,bila kita ngopi diwarung kopi hanya dengan tujuan melepaskan kepenatan dengan kebiasaan ngopi, dan setelah selesai langsung melanjutkan pekerjaan, itu hal yang sangat positif.Akan tetapi, kalau ngopi diwarung kopi tanpa arah dan tujuan hanya seharian ngerumpi masalah politik, itu sama halnya bercerita tanpa ujungnya. Itulah deskripsi khas warung kopi,awalnya saling tidak kenal kemudian saling menawarkan rokok berlanjut kepertemuan berikutnya sampai berikutnya, dan akrab sambilan ngopi dari pagi hari sampai sore hari dengan berbeda tema sampai dalam sebuah film episode tanpa ending akhir yang tepat.

Dengan ditemani secangkir kopi panas dipagi hari hingga sore hari bersama satu atau dua potong pisang goreng, di beberapa warung kopi di panipahan. disempurnakan dengan aroma nikotin kental yang mengepul tanpa dosa, itulah warung kopi Milik Apeng yang terletak di jalan darma kepenghuluan panipahan kecamatan palika kabupaten rokan hilir riau, Bagi warga nongkrong diwarung kopi sudah menjadi budaya baru gaya hidup bagi beberapa kalangan. Memang, kalau kita pikir secara positif warung kopi juga menjadi ajang silaturahmi antar masyarakat yang berbeda latar belakang, sehingga menjadikan mereka dan memaksa kehendak mereka untuk melakukan diskusi atau bertukar pikiran bagi masyarakat.

Era globasisasi saat ini, membebaskan setiap orang berbicara mengenai politik dimana dan kapan saja. Semua orang mempunyai mimbar bebas menyuarakan aspirasi politik dikalangan masyarakat mulai dari cacian yang bernada sara’ hingga pujian yang berlebihan terhadap tokoh politik. Inilah sebuah era demokrasi kebebasan yang dulu diperjuangkan dengan jerih payah serta mengorbankan banyak nyawa dan materi. Yang menjadi perhatian kita, obrolan itu bukan hanya muncul dalam forum-forum resmi dan terhormat, namun obrolan politik muncul ditempat sederhana dan umum terlebih pada moment dimana sesaat pesta demokrasi didengungkan.

Keberadaan warung kopi bisa dikatakan juga memberi wacana tanding bagi kalangan media yang ada ditiap daerah apa lagi menjelang pemilu,dari tingkat pilpres mau pun pilgub juga Pilkada legislatif sampai di tingkat Pilkades atau Pilpeng.

Sehingga secara pelan-pelan mulai terbawa dalam suasana sekat-sekat politik dan aliran. Walaupun obrolan politik ruang edarnya tidak seluas dari media, akan tetapi bisa mempengaruhi berbagai kalangan.Hal ini, tentu saja sangat memungkinkan terjadinya perubahan sosial, politik dan budaya pada kehidupan masyarakat.

Secara umum kedai warung kopi dianggap menjadi sarana yang lebih terbuka dan egaliter dalam menerima pengunjungnya.

Bila kita cermati dalam kontek keilmuan, maka kebanyakan orang mengunjungi warung kopi untuk menikmati secangkir kopi, bertemu dengan teman dan mengobrol satu sama lain, membincangkan banyak hal, mulai dari isu politik, ekonomi dan sebagainya. Seiring berkembangnya teknologi, banyak diantara pengunjung yang kewarung kopi untuk berselancar didunia maya, berjejaring sosial. Dapat dipastikan, sedikit sekali atau hampir langka seseorang yang datang kewarung kopi untuk membaca atau berdiskusi. Ini menjadi penjelasan seorang teman, kenapa tidak ada lahir filosof di Negeri ini. 

Sebab, di Eropa para pemikir-pemikir besar, banyak menghabiskan waktu diwarung kopi berdiskusi dan mematangkan ide-idenya, sehingga menghasilkan teori-teori baru bagi pengetahuan.Maka, pertanyaan berikutnya adalah, berapa gelas kopi yang sudah kita seruput setiap harinya? Dan berapa banyak buku yang sudah anda baca. Sebab, akan sangat disayangkan bila kafein yang masuk ke dalam tubuh tidak digunakan untuk menstimulasi daya ingat untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi baru.

Jika kita pernah membaca novel Andrea Hirata berjudul Cinta di Dalam Gelas, kita tahu perjuangan seorang tokoh bernama Maryamah dan kisah seorang Ikal membincangkan sebuah dinamika warga Melayu dari warung-warung kopi yang jujur, transparan, dan penuh arti. Dan warkop, meski dengan berbagai “sistem kelasnya” saat ini, adalah bentuk ‘penyambung lidah rakyat.

Mungkin sebaik-baik ‘penyambung’ adalah yang digauli realitanya, dengan cara ngopi di warkop yang apa adanya.
Dalam kontek politik menjelang Pilgub,semakin banyak masyarakat berboyong-boyong kewarung kopi dari yang tua sampai yang muda untuk mencari stratag isu perpolitikan. Banyak sekali omongan yang mengarahkan dari pasangan satu sampai pasangan lain dari rebutan partai sampai borongan partai, bahkan dari yang pantas sampai dengan hal yang tidak pantas selalu muncul dalam secercah cerita warung kopi yang bernuansa politik.

Dalam pandangan penulis, kenapa mengangkat isu warung kopi – politik tanpa tanda titik, karena dua bulan belakangan ini, penulis sering muncul diwarung kopi dengan tujuan awal ingin minum kopi sampai bertemu dengan teman berpindah dari meja satu sampai meja selanjutnya hanya obrolan mengenai politik menjelang Pilgub 2018. Mendatang di propinsi riau, warung kopi sebagian berubah menjadi kaffe, kalau dikampung-kampung warung kopi tetap sama halnya seperti warung kopi biasanya tradisional.

Akan tetapi, kalau selalu berbicara mengenai politik, lama kelamaan penulis merasa kalau jadi pengamat politik. Iya, cukup nongkrong diwarung kopi ikuti perkembangan isu yang selalu diceritakan tanpa arah dan tujuan yang jelas alias tanpa ujung cerita. Maka, tidaklah berlebihan ketika sebuah pendapat berbicara, bahwa kini ada dua kekuatan besar sebagai pengontrol pemerintahan yang berdaulat. Bukan parpol yang memproklamirkan diri sebagai oposisi, bukan juga kalangan legislatif yang dipenuhi artis. Akan tetapi, media massa dan rakyat. Meski bentuk kontrol ini, hanya bersifat sporadis, bahkan hanya berakar dari petak-petak warung kopi di sudut-sudut gang, tetapi jangan pernah meremehkan kekuatannya.

Rakyat telah berkembang sedemikian cerdas tanpa kurikulum, tanpa silabus pendidikan. Teknologi informasi sudah menyajikan akses informasi yang meluap-luap seperti segelas teko dengan isi yang meluber dari alfa sampai teta. Bagi mereka yang tidak cukup modal untuk bergaul dengan akses-akses informasi super cepat itu, cukup datang ke warung kopi. 

Semua tersaji lengkap, selengkap menu empat sehat lima sempurna. Panas, sepanas kopi hitam dipinggiran jalan. Dan kental, sekental aura kebersamaan yang dibangun masyarakat pinggiran jauh dari radius metropolitan melahirkan perbincangan politik bersambung sampai selesai Pilgub dan lanjut sampai ke Pilpres,warung kopi ajang kebersamaan menceritakan isu politik yang ada didaerah maupun nasional, sampai setiap harinya selalu dengan huruf koma bukan titik. [Opini : Mustar]

Berita Lainnya

Index