Metroterkini.com - Pemerintah Myanmar dituduh membuldoser kuburan massal warga minoritas Muslim Rohingya untuk 'menghancurkan bukti-bukti pembantaian yang dilakukan oleh militer pada 2017'.
Klaim ini dikeluarkan oleh organisasi pemantauan hak asasi manusia menyusul investigasi yang dilakukan kantor berita Reuters dan AP yang 'menemukan adanya bukti kuburan massal'.
Video yang diperoleh tim Arakan Project -- yang menggunakan jaringan di lapangan untuk mendokumentasikan perlakuan buruk terhadap warga Muslim Rohingya di Rakhine -- menunjukkan lokasi kuburan sebelum dihancurkan.
Video yang ditunjukkan kepada koran Inggris, The Guardian, memperlihatkan kantong-kantong jenazah dari terpal yang setengah terkubur di tanah, salah satunya dengan jelas menunjukkan kaki manusia.
Chris Lewa, direktur Arakan Project, mengatakan buldoser dikerahkan 'untuk menyembunyikan bukti kuburan massal', setelah kuburan ini dimuat media.
"Dua kuburan massal yang ramai diberitakan media, salah satunya dibuldoser pada hari Kamis (15/02). Ini berarti bukti pembunuhan sedang dihilangkan," kata Lewa kepada The Guardian.
Menurut Lewa pembersihan dengan buldoser 'dilakukan oleh perusahaan dari Myanmar tengah, bukan dari Rakhine'.
"Ini jelas atas permintaan pemerintah," kata Lewa.
Lokasi kuburan massal ini dilaporkan berada di Maung Nu, di Buthidaung, Rakhine. Para pegiat HAM mengatakan tempat itu adalah lokasi pembantaian terhadap warga minoritas Muslim Rohingya, Agustus 2017.
Pengakuan Militer
Sejumlah saksi yang selamat kepada organisasi HAM Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa militer 'memukul, melakukan serangan seksual, menikam, dan menembak warga desa setelah warga dikumpulkan'.
Puluhan orang diyakini tewas. Foto-foto satelit yang diperoleh HRW menunjukkan lokasi di Maung Nu rata dengan tanah setelah insiden ini.
Warga Rohingya Hampir 700.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh setelah pecah krisis kemanusiaan pada Agustus 2017. (Getty Images)
Minoritas Muslim Rohingya di Rakhine tidak diakui sebagai warga negara di Myanmar.
Para pegiat HAM mengatakan mereka menjadi korban persekusi secara sistematis selama beberapa dekade dan menjadi sasaran 'tiga pembersihan etnik sejak 2012'.
Tuduhan ini dibantah oleh para pejabat pemerintah.
Krisis terbaru pecah pada Agustus 2017 setelah kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) menyerang pos-pos keamanan yang dibalas dengan operasi militer oleh aparat keamanan.
Diperkirakan ribuan warga Rohingya tewas dalam operasi militer, sementara hampir 700.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke negara tetangga, Bangladesh.
Utusan khusus PBB untuk masalah HAM Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan krisis ini memperlihatkan 'adanya genosida'. Sebelumnya, pejabat PBB lain menggambarkan apa yang terjadi terhadap warga Rohingya 'sebagai jelas-jelas pembersihan etnik'.
Lagi-lagi, tuduhan tersebut ditolak oleh pemerintah Myanmar.
Militer mengatakan investigasi internal yang mereka lakukan tidak menemukan bukti adanya pembantaian. Seorang jenderal mengatakan krisis kemanusiaan ini dipicu oleh orang-orang Rohingya sendiri.
Namun, posisi mereka berubah ketika Desember lalu militer mengakui keterlibatan tentara dalam pembantaian massal di Desa Inn Din. [***]