Metroterkini.com - Forum Pengada Layanan (FPL) terus menggalakan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mereka hingga kini terus memotivasi para korban, memberinya advokasi, juga terus berjuang di jalur konstitusi melalui usulan dalam pembahasan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Selama 2017, Woman Crisis Centre (WCC) Mawar Balqis Cirebon mencatat sedikitnya ada 147 kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Angka ini masih tergolong tinggi. Maka itulah pihak WCC Mawar Balqis merasa perlu mendampingi FPL dalam memperjuangkan RUU tersebut.
Untuk diketahui, dari 147 kasus kekerasan perempuan, 65 persen dialami oleh pelajar yang didominasi tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dari sisi usia, pada kisaran 1-20 tahun. Korban yang berusia tingkat SD terdapat 42 kasus dan SMP 42 kasus.
“Dari 152 pasal yang diajukan DPR RI, pemerintah hanya menyetujui 55 pasal. Jumlah pasal usulan oleh masyarakat sipil dan jumlah pasal yang harus dipertahankan untuk tetap dimasukan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berdasarkan usulan FPL sebanyak 152 pasal. Jumlah pasal ini non negotiable ada 101 pasal dan pasal negotiable ada 51 pasal,” sebut Koordinator WCC Mawar Balqis, Sa’adah, dalam keterangan yang dilansir akurat, Jumat (22/12/17).
Pasal yang harus dipertahankan menurutnya adalah Pasal 2-3 tentang Asas dan Tujuan Penghapusan Kekerasan Seksual; Pasal 4 tentang Ruang Lingkup RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dimana pemerintah menghapus pasal tentang penanganan; Pasal 5 tentang pencegahan, dimana pemerintah menghapus seluruhnya, yakni pencegahan melalalui pendidikan,infrastruktur, pelayanan publik, tata ruang, pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi, sosial budaya dan lainnya.
“Selain itu, ada juga pasal 11-20 tentang tindak pidana kekerasan seksual, dimana pemerintah menghapus, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan dan pemaksaan perkawinan. Pelecehan seksual yang dilakukan terhadap anak, disabilitas, bukan delik aduan; Pasal 11-20 tentang tindak pidana kekerasan seksual, dimana pemerintah menghapus pemaksaan kontrasepsi,pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan dan pemaksaan perkawinan. Pelecehan seksual yang dilakukan terhadap anak, disabilitas, bukan delik aduan,” lanjut Sa’adah.
Pihaknya juga menuntut soal pasal 21-35 tentang hak korban, keluarga dan saksi. Dimana pemerintah menghapus hak penanganan, perlindungan dan pemulihan korban, keluarga dan saksi. Ia menilai, hak inilah yang paling penting untuk diatur dan diberikan. Juga untuk pasal 36-41 tentang Pusat Pelayanan Terpadu, seluruhnya dihapus.
“Jika hanya penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, maka tidak mencakup tentang pengawasan putusan sampai eksekusi. Selain itu pemerintah juga mengahapus beberapa pasal, diantaranya pasal tentang ganti kerugian,pelaksanaan ganti kerugian, termasuk larangan dan kewajiban pelayanan terpadu kepada korban selama proses penanganan perkara seksual. Pasal ini sangat krusial,” jelas Sa’adah.
Sa’adah mengakui, perjuangannya juga diantaranya dengan pemantauan dalam rapat kerja DPR RI dan beberapa kementrian, yakni Kementerian PPA, Kemensos, Kemenkes,Kemendagri dan Kemenpan RB.
“Di samping melakukan diskusi strategi di DPR RI, kami juga melakukan intervensi kepada anggota DPR RI dengan mengirimkan pesan singkat yang berisikan data kasus dan tekanan untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Selain itu, seluruh lembaga FPL mengirimkan surat ke DPR RI untuk segera membentuk Panja dan membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Kami hingga kini juga melakukan audiensi dengan sejumlah pihak terkait dalam pembahasan RUU itu. Hal itu terus dilakukan secara bergiliran,” pungkasnya.[*]