Metroterkini.com - Pengelolaan ekosistem dan restorasi lahan gambut selayaknya terintegrasi dengan upaya pengurangan risiko bencana serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklimbpun pada tingkat desa.
Dampak perubahan iklim secara langsung telah mempengaruhi tingkat risiko bencana bagi masyarakat di sekitar lahan gambut.
Peningkatan risiko terjadi karena dampak perubahan iklim memicu peningkatan bahaya, meningkatkan kerentanan, serta menurunkan kapasitas masyarakat desa.
Dalam upaya ini, menempatkan peran dan manfaat secara adil kepada masyarakat desa menjadi bagian yang sangat penting.
Termasuk mendorong serta menyempurnakan, tata kelola pemerintahan agar bersih dan lebih demokratis, serta melibatkan lembaga pemerintahan secara lintas sektoral dan para pemangku kepentingan lain.
Mempertimbangkan hal tersebut, Wetlands International Indonesia bermitra dengan Walhi Riau melaksanakan kegiatan sosialisasi pendekatan pengelolaan risiko terpadu melalui program Partner for Resilience – Strategic Partnership (PFR-SP) di Desa Tanjung Peranap, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, pada 22 September 2017.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menguatkan kebijakan di tingkat desa sehingga dalam pengelolaan lahan gambut dapat terlaksana secara terpadu dan berkelanjutan.
Kegiatan ini di ikuti oleh sekitar 30 peserta dari berbagai unsur masyarakat dan pemerintahan, baik di tingkat desa dan kabupaten, yang diwakili oleh BPBD Kabupaten Kepulauan Meranti.
Dalam sambutan Kepala Desa Tanjung Peranap, Iswandi, mengatakan, “Kami menyambut baik program ini, terutama terkait fasilitasi penyusunan Peraturan Desa dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan gambut di desa ini."
Iswandi menambahkan bahwa Desa Tanjung Peranap yang berada di sekitar ekosistem lahan gambut dan pesisir perlu dioptimalkan potensinya.
Salah satu potensi yang perlu dioptimalkan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat desa adalah budidaya dan pengolahan sagu.
Pada pemaparan materi pertama, Ragil Satriyo Gumilang dari Wetlands International Indonesia menyampaikan mengenai pentingnya penguatan kebijakan di tingkat desa untuk pengelolaan risiko terpadu serta strategi ke depan dalam pengelolaan lahan gambut di wilayah Desa Tanjung Peranap.
Ragil menjelaskan mengenai kondisi terkini, prinsip, kebijakan, dan praktik-praktik restorasi lahan gambut di Indonesia yang relevan dengan konteks lokal.
Dengan menggunakan analogi-analogi sederhana dan contoh-contoh pengalaman praktik, juga dijelaskan mengenai strategi pengurangan risiko bencana.
Pada prinsipnya, strategi ini diterapkan melalui upaya pengurangan ancaman bahaya dan kerentanan masyarakat serta meningkatkan kapasitas masyarakat, baik melalui pendampingan teknis ataupun peningkatan ekonomi masyarakat.
Ragil mengatakan, “Apa yang diinginkan masyarakat desa di sini (Tanjung Peranap) dengan penguatan Masyarakat Peduli Api (MPA) dan usaha pengembangan komoditas sagu telah sejalan dengan prinsip restorasi lahan gambut yang berkelanjutan."
Melalui sinergitas MPA dan BUMDES usaha sagu, yang nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes) Desa Tanjung Peranap.
Ragil menegaskan bahwa hal itu akan mendukung ekonomi petani kecil yang membudidayakan sagunya di lahan gambut serta menjadi bagian dari upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Upaya ini sejalan dengan prinsip pendekatan Paludikultur, yaitu praktik budidaya tanpa drainase dengan menggunakan jenis tanaman lokal gambut yang memiliki kesesuaian dengan kondisi basah.
“Dengan mendorong hal ini, akan meminimalkan kebakaran dan kerusakan lahan gambut karena komoditas sagu merupakan jenis tanaman asli rawa dan sangat baik dibudidayakan pada lahan gambut yang basah,” ujarnya.
Sesi selanjutnya dipaparkan oleh BPBD Kabupaten Kepulauan Meranti yang menyampaikan mengenai profil kebencanaan di Kabupaten Kepulauan Meranti.
BPBD menyampaikan bahwa karhutla menjadi ancaman serius setiap tahun, hampir di seluruh wilayah Kepulauan Meranti khususnya yang berada di wilayah lahan gambut.
Berdasarkan hasil identifikasi, lahan gambut yang terbakar sejauh ini adalah lahan gambut yang telah terdrainase atau terbangun kanal.
Pada sesi terakhir, Wetlands International Indonesia bersama Walhi Riau, yang diwakili oleh Ragil dan Devi, memandu acara diskusi dan menjelaskan mengenai penyusunan Peraturan Desa.
Pada sesi ini didiskusikan mulai dari dasar-dasar hukum, identifikasi permasalahan desa, penjaringan aspirasi masyarakat, tahap-tahap penyusunan Peraturan Desa hingga pembagian tugas dan tanggung jawab.
Peraturan Desa ini nantinya akan digunakan sebagai payung hukum agar pelaksanaan rencana pencegahan dan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Selain itu, memungkinkan integrasi isu kebencanaan kebakaran hutan dan lahan ke dalam RPJM dan RKP Desa. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa mandat dari Peraturan Desa ini nantinya dapat didanai melalui APB Desa. [**ant]