Metroterkini.com - Jaksa penuntut umum Ali Mukartono enggan mengomentari tentang nota keberatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mengutip bukunya yang bersub judul 'Berlindung di Balik Ayat Suci'. Kutipan buku itu adalah penjelasan Ahok tentang penggunaan surat Al Maidah ayat 51 ketika Pilkada.
"Tentang keberatan itu kami tidak bisa memberikan pendapat karena tidak bisa diverifikasi sumbernya dalam hal ini terdakwa hanya mengatakan hal itu berasal dari jawaban teman-temannya," kata Ali saat membacakan tanggapan atas nota keberatan atau eksepsi Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2016).
"Kami tidak mengomentari lebih jauh pernyataan-pernyataan tersebut tapi sebaiknya kita semua terus berbuat yang baik untuk negara ini," sambung Ali.
Keberatan Ahok yang dimaksud Ali yaitu ketika Ahok membaca kutipan dari buku yang diterbitkan pada tahun 2008 itu. Dia berkaca dari pengalamannya terjun di dunia politik dan mengamati ada satu ayat yang digunakan ketika ramai gelaran pilkada.
"Selama karier politik saya, saya mendaftarkan diri jadi anggota partai, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai mengikuti pemilu, kampanye pemilihan bupati bahkan sampai gubernur, ada ayat yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan menuju kekuasaan, yaitu oleh oknum yang kerusakan roh kolonialisme," ujar Ahok membacakan bukunya dalam sidang 13 Desember lalu.
Ahok mengatakan ayat tersebut sengaja disebarkan oleh elit politik tertentu yang tidak bisa bersaing dalam urusan kampanye, termasuk di dalamnya visi dan misi program.
"Ayat ini sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elit karena tidak bisa bersaing dengan visi-misi program dan integritas pribadinya. Mereka berusaha berlindung di balik ayat-ayat suci itu agar rakyat dengan konsep 'seiman' memilihnya. Dari oknum elit yang berlindung di balik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan Surat Al-Maidah 51. Isinya, melarang rakyat menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin mereka, dengan tambahan, jangan pernah memilih kafir menjadi pemimpin. Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum yang seiman," ujar Ahok.
"Padahal, setelah saya tanyakan kepada teman-teman, ternyata ayat ini diturunkan pada saat adanya orang-orang muslim yang ingin membunuh Nabi Besar Muhammad, dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan Yahudi di tempat itu. Jadi, jelas, bukan dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena di NKRI kepala pemerintahan bukanlah kepala agama/imam kepala," sambung Ahok.
Ahok tidak hanya membahas mengenai penggunaan Surat Al Maidah 51. Masih dengan kutipan dari bukunya, Ahok juga membahas mengenai ayat di Alkitab yang membahas mengenai perlindungan di balik ayat suci.
"Bagaimana dengan oknum elit yang berlindung, di balik ayat suci agama Kristen? Mereka menggunakan ayat di Surat Galatia 6:10. Isinya, selama kita masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman. Saya tidak tahu apa yang digunakan oknum elit di Bali yang beragama Hindu atau yang beragama Buddha. Tetapi saya berkeyakinan, intinya, pasti, jangan memilih yang beragama lain atau suku lain atau golongan lain, apalagi yang rasnya lain. Intinya, pilihlah yang seiman/sesama kita (suku, agama, ras, dan antargolongan)," kata Ahok.
"Mungkin, ada yang lebih kasar lagi, pilihlah yang sesama kita manusia, yang lain bukan, karena dianggap kafir, atau najis, atau binatang! Karena kondisi banyaknya oknum elit yang pengecut, dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi, dan akhirnya mengandalkan hitungan suara berdasarkan se-SARA tadi. Maka betapa banyaknya sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan. Seorang putra terbaik bersuku Padang dan Batak Islam, tidak mungkin menjadi pemimpin di Sulawesi, apalagi di Papua. Hal yang sama, seorang Papua tidak mungkin menjadi pemimpin di Aceh atau Padang," tambahnya.
Ahok mengatakan kondisi di atas itulah yang memicu bangsa Indonesia tidak mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terbaik. Bahkan, menurut Ahok, yang terjadi adalah sebaliknya.
"Melainkan kita mendapatkan yang buruk dari yang terburuk karena rakyat pemilih memang diarahkan, diajari, dihasut, untuk memilih yang se-SARA saja. Singkatnya, hanya memilih yang seiman (kasarnya yang sesama manusia)," ujar Ahok. [detik]