Metroterkini.com - Puluhan tahun berbisnis disektor perkebunan dan industri kelapa sawit PT. Mekarsari Alam Lestari (MAL) terindikasi beroprasi tanpa dilengkapi dengan legalitas yang memenuhi syarat sebagai mana yang diatur oleh aturan-aturan pemerintah Republik Indonesia.
“PT. MAL mulai beroprasi sejak tahun 2005, dan sejak beroprasi itu kehadiran PT. MAL di tengah masyarakat sudah menimbulkan kontra dari masyarakat yang ditunjukkan dengan pengaduan masyarakat ke pihak pemerintah, dan juga aksi penolakan masyarakat Desa Kuala Panduk dan desa-desa yang ada disekitarnya. Hal tersebut terjadi terkait erat dengan proses legalitas perusahaan yang terindikasi tidak prosedural, misalnya saja soal perizinan PT. MAL, tahun 1998 perusahaan ini mendapatkan persetujuan areal pencadangan seluas 14.950 Hektare dari Menteri Kehutanan.
Kemudian tahun 2005 mendapatkan HGU seluas 4.745,33 Hektare, namun pada praktek dilapangan hingga sekarang PT. MAL sudah bekerja diluar areal HGU mereka, tepatnya di Desa Kuala Panduk dan Desa Petodaan,” ungkap Romes Irawan Putra, Kepala Departemen Komunikasi dan Informasi Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR).
Dan lebih dari itu, tambah Romes, PT. MAL beroprasi tanpa dilengkapi dengan kelayakan lingkungan berupa Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) padahal dokumen tersebut merupakan syarat wajib beroprasinya sebuah usaha disektor perkebunan seperti PT. MAL ini, hal ini merupakan kesalahan patal dan pemerintah sudah harus mengambil sikap tegas dengan penegakan hukum terhadap perusahaan seperti ini.
“Kita juga selalu mendapat laporan dari masyarakat bahwa PT. MAL selalu berkonflik dengan masyarakat terutama mengenai penguasaan sepihak atas lahan kelola masyarakat yang berupa kebun, dan juga kewajiban perusahaan berupa CSR dan KKPA seluas 40% dari HGU yang harus diberikan kepada masyarakat disekitarnya namun tidak teralisasi dengan baik, PT. MAL ini juga terlibat dengan persoalan Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) ketika tahun 2012 Direktur Utama (Dirut) PT. MAL bernama Suheri Terta dan Facruddin sebagai Manager Proyek PT. MAL diputus bersalah mengelola lahan dengan meyebapkan kebakaran oleh Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru” ungkap Romes.
Disisi lain, warga Desa Kuala Panduk mengungkapkan,”PT. MAL melakukan penggalian kanal dan pembersihan lahan mengunakan alat berat (escavator)hingga saat ini, kegiatan tersebut dilakukan dilahan milik masyarakat yang sudah ditanami karet dan juga sawit, kami sangat berharap ada perhatian dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, jika dibiarkan akan semakin banyak lahan masyarakat yang digarap”.
“Kami atas nama masyarakat, terutama Desa Kuala Panduk dan Desa Petodaan meminta agar PT. MAL mengembalikan lahan masyarakat yang sudah digarap seluas lebih kurang 1.800 Hektare, dan PT. MAL harus keluar dari wilayah kelola masyarakat yang masih terus mereka garap,” pungkas Wanto.
Romes menambahkan, PT. MAL jelas tidak memenuhi syarat usaha sebagai mana yang diatur dalam tata aturan hukum yang berlaku, tidak menjalankan prinsif FPIC atau kebebasan dalam memberikan keputusan tanpa paksaan yang seharusnya dilaksanakan oleh perusahaan sektor perkebunan seperti PT. MAL, kemudian menyebapkan konflik sosial di masyarakat, dan yang lebih parah masih melakukan eksploitasi terhadap lahan gambut, dengan kanalisasi dan landclearing, itu bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk restorasi gambut, menurunkan emisi karbon, dan moratorium perluasan perkebunan sawit sebagai mana yang sudah diamanatkan oleh Presiden.
“Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah kongkrit untuk penegakan hukum dan menyelesaikan konflik sosial yang ada didalam dan sekitar perkebunan sawit sekala besar seperti PT. MAL ini” pungkas Romes. [**]