Metroterkini.com - Kelompok militan ISIS tengah mengincar aset minyak di sejumlah negara rentan di luar Suriah, seperti di Libya. Pejabat senior Amerika Serikat menyatakan saat ini saja ISIS telah mengusai sekitar 80 persen lapangan minyak dan gas di Suriah.
Pejabat AS yang tak mau dipublikasikan namanya itu menjelaskan AS tengah memeriksa secara ketat kepemilikan lapangan minyak, pipa, rute truk dan infrastruktur minyak lainnya di sejumlah tempat yang rentan terhadap militan, termasuk di Libya dan Semenanjung Sinai, Mesir.
"Mereka (ISIS) mengincar aset minyak di Libya dan di tempat lain. Kami akan siap," kata pejabat senior itu kepada para wartawan di Washington, Selasa (15/12), dikutip dari Cnn Indonesia.
Amerika Serikat memperkirakan kelompok militan ISIS menjual minyak senilai US$40 juta, atau sekitar Rp561 miliar per bulan, yang kemudian diselundupkan menggunakan truk melintasi sejumlah wilayah garis pertempuran perang saudara Suriah dan terkadang ke luar Suriah.
AS belakangan menargetkan truk pembawa minyak bahan bakar, sebagai upaya untuk meningkatkan serangan terhadap kekayaan minyak yang diproduksi oleh ISIS.
"Biaya operasi sudah naik dan pergerakan untuk (penyelundupan minyak) di sekitar wilayah telah menurun," kata pejabat itu.
Harga minyak mentah yang hampir di atas posisi terendah baru-baru ini ditetapkan dalam krisis keuangan periode 2008-2009. Di seluruh dunia, harga minyak menurun lebih dari 50 persen sejak mulai turun pada Juni 2014.
Harga minyak yang rendah bisa menjadi pedang bermata dua dalam memerangi ISIS, membantu mengurangi sumber utama pendapatan kelompok tersebut di Suriah, tetapi di lain sisi justru membuat sejumlah perusahaan minyak memangkas pekerja mereka.
Menurut pejabat tersebut, beberapa pekerja minyak di wilayah yang dikendalikan ISIS merupakan tenaga kerja asing.
"Penurunan harga minyak benar-benar menambah rasa ketidakamanan karena para perusahaan minyak memiliki lebih sedikit uang untuk berbelanja," kata pejabat tersebut menambahkan.
"Ada lebih banyak pekerja minyak dan gas yang keluar dari pekerjaan mereka, dan mereka menjadi target yang lebih mudah untuk direkrut ISIS di seluruh dunia," kata pejabat tersebut. (stu)