Pemilu Myanmar, Ribuan Etnis Muslim Kaman Tak Bisa Ikut Memilih

Pemilu Myanmar, Ribuan Etnis Muslim Kaman Tak Bisa Ikut Memilih

Metroterkini.com - Di sebuah pulau terpencil hanya dapat diakses dengan perahu dari Sittwe, Myanmar, hidup ribuan warga etnis Kaman yang tinggal dalam kemiskinan dan tidak mempunyai hak suara dalam pemilihan umum demokratis pertama dalam 25 tahun terakhir pada 8 November mendatang. 

Dilaporkan Channel NewsAsia, etnis Muslim Kaman tidak memiliki hak pilih diduga karena mereka beragama Islam. Di Desa Sin Tat Mon, sekitar 2.000 etnis Kaman hidup berdampingan di kamp pengungsi dengan 7.000 etnis Rohingya, atau yang dianggap sebagai pengungsi Bangladesh oleh pemerintah Myanmar. 

Tak seperti etnis Rohingya, warga etnis Kaman memiliki kewargangearaan dan diakui secara resmi oleh pemerintah Myanmar sebagai salah satu dari tujuh kelompok etnis yang berbagi catatan sejarah dan budaya dengan kelompok etnis lainnya di tanah Myanmar. Nenek moyang etnis Kaman sudah berada di Myanmar sejak berabad lalu dan dikenal luas sebagai penduduk asli. 

Warga etnis Kaman memiliki kartu identitas nasional, yang biasanya dipandang sebagai simbol kuat akan pengakuan kewarganegaraan di Myanmar. Namun, warga etnis Kaman mengaku hak-hak mereka perlahan-lahan terkikis setelah terjadinya kerusuhan mematikan pada 2012 silam

Saat kerusuhan terjadi, sekitar 4.000 warga dari kota Kyauk Phyu lari ketakutan dan terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka kemudian melakukan perjalanan dengan perahu selama dua hari ke Sittwe, tetapi tidak diizinkan memasuki pelabuhan. 

Tak punya tujuan, mereka kemudian menetap di pulau tersebut, hidup bersama warga Rohingya beberapa bulan sebelum kamp pengungsian didirikan. 

Kondisi kamp pengungsian tersebut dilaporkan lebih baik dari sebelumnya. Tenda-tenda pengungsi digantikan dengan rumah kayu, para wanita memiliki area untuk menyusui, ternak ayam dan hasil bercocok tanam mencukupi kebutuhan pangan para pengungsi. 

Meski demikian, kondisi ini jauh dari layak. Etnis Kaman menyerukan fasilitas kesehatan dan suara politik untuk membela komunitas mereka. Warga Kaman bahkan tidak bebas berpergian ke wilayah lain dan dibatasi aksesnya untuk mengunjungi kamp pengungsian lain. 

"Dalam pemilu sebelumnya kita bisa memilih, sejak tahun 1974 dan bahkan pada 1990 dan 2010. Kamp pengungsi lain menerima daftar pemilih, tapi di sini tidak ada, sehingga kami mengirim surat kepada presiden tapi kami masih menunggu jawabannya," kata Kyaw Hia, pemimpin komunitas etnis Kaman yang pernah menjadi kandidat dari Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan, USDP. 

Kyaw Hia menyatakan etnis Kaman tidak "berharap" upaya tersebut akan berhasil dalam waktu singkat. "Kami berharap setelah pemilu akan ada pemerintahan baru," kata Kyaw Hia dilansir CNN. 

"Kami warga dari negara ini, saya memiliki kartu identitas nasional tapi saya tidak bisa pergi ke Sittwe jika saya ingin ke sana. Anak-anak di sini perlu sekolah dan universitas. Kami menunggu mati di sini," ujar adiknya, Ohn Mar Saw, 49, yang memiliki dua anak dan kehilangan suaminya karena sakit. 

Kamp pengungsian ini dikelilingi oleh petugas polisi yang mengawasi setiap orang yang masuk dan pergi dari kamp tersebut, serta menjaga ketertiban dengan ketat. Petugas selalu menyaksikan semua wawancara dan turut merekam wawancara setiap ada kunjungan media. 

Sementara, anak-anak etnis Kaman bermain dengan acuh di tengah hujan. Banyak dari mereka yang menderita kekurangan gizi dan penyakit kulit. Terlihat juga sejumlah nelayan yang mempersiapkan jangkar mereka, meski mereka harus membayar polisi setiap kali akan pergi melaut. [CNN]

Berita Lainnya

Index