Metroterkini.com - Kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia terjadi hampir setiap tahun dalam dua dekade terakhir. Seperti pada musim kering tahun ini yang dikenal sebagai periode “El Nino”, kebakaran yang tejadi berdampak sangat parah. Kebakaran tersebut telah menyebabkan asap yang menyelimuti dan merusak sebagian besar pulau Sumatera dan Kalimantan, serta negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore.
Kerugian materi dan immateri akibat dari kebakaran tahun 2015 ini sangat besar dan diperkirakan sudah mancapai puluhan triliun rupiah. Selain itu, banyaknya korban jiwa akibat kepekatan asap telah mencapai bahaya tingkat. Sebagian besar kebakaran terjadi di lahan gambut yang disebabkan oleh pengeringan gambut (drainase). Terbakarnya gambut akan menghilangkan fungsi ekologis penting seperti penyimpan karbon, penahan air, pelindung banjir serta hilangnya habitat keanekaragaman hayati dan penyokong mata pencaharian masyarakat setempat.
Gambut merupakan material organik yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang tidak terdekomposisi dengan sempurna, dan terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, miskin oksigen, memiliki keasaman tinggi, serta terbentuk secara geologis dalam waktu ribuan tahun. Indonesia memiliki luas lahan gambut ke tiga terluas di dunia, dimana sebagian besar berada di bagian pesisir dataran rendah pulau Sumatra, Kalimantan dan Papua.
Dalam beberapa dekade ini, hutan rawa gambut telah dideforestasi, dikeringkan (drainase) dan dikonversi menjadi perkebunan sawit dan HTI pulp dan kertas. Proses ini terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan HTI, kondisi perekonomian dan lemahnya penegakan hukum. Drainase menyebabkan karbon di lahan gambut teroksidasi secara terus menerus sehingga menghasilkan emisi CO2 (nilai emisi konservatif sebesar 15 t C/ha/tahun), dan memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim.
Gambut yang mengering sangat rentan terbakar, dan apabila terjadi kebakaran akan sangat sulit untuk dipadamkan. Hilangnya karbon menyebabkan penurunan volume gambut, sehingga lahan gambut akan mengalami amblas (subsiden), dengan laju sekitar 3-6 cm/tahun.
Selama gambut didrainase, subsiden akan terus berlangsung hingga permukaan gambut menjadi sejajar dengan permukaan sungai atau laut di sekitarnya, dimana air gambut tidak mungkin lagi mengalir secara gravitasi. Dalam kondisi ini, lahan gambut akan sering mengalami banjir dan produktivitas jutaan hektar kawasan dataran rendah akan hilang.
Oleh karena itu, Wetlands International menyerukan para pengambil kebijakan, industri, masyarakat dan stakeholder untuk melakukan dua hal terkait pengelolaan lahan gambut:
- Merestorasi dan melindungi seluruh hutan rawa gambut yang tersisa dan yang belum dikembangkan melalui kebijakan moratorium permanen yang lebih kuat
- Memastikan produktivitas lahan gambut melalui pengelolaan yang berkelanjutan untuk jangka panjang serta menjamin tersedianya fungsi lingkungan, ekonomi dan manfaat untuk masyarakat
Wetlands International yakin bahwa drainase di lahan gambut mengancam keberlangsungan produktivitas pertanian dan kehutanan dalam jangka panjang, meningkatkan kerentanan masyarakat sekitar dan memicu terjadinya kebakaran, kabut asap dan banjir. Oleh karena itu kami mendukung:
1. Dihentikannya (phasing out) kegiatan perkebunan dan kehutanan yang menggunakan drainase dari lahan gambut dan dipindahkan ke lahan mineral non-hutan, non-HCV, non-HCS dan minim konflik sosial melalui program tukar guling lahan
2. Pengembangan dan implementasi rencana paska pemanfaatan lahan gambut yang terdegradasi melalui kegiatan restorasi dan pembasahan (rewetting)
3. Diterapkannya (Phasing-in) praktek pengelolaan lahan gambut berkelanjutan (Paludikultur) menggunakan jenis tanaman bernilai ekonomi yang dapat hidup dalam kondisi basah. Misalnya Sagu, Tengkawang, Jelutung, rotan dan jenis jenis lain yang digunakan sebagai bahan baku kertas.
Paludikultur adalah satu-satunya model pemanfaatan berkelanjutan bagi lahan gambut yang terdegradasi, karena mempromosikan pemanfaatan jangka panjang, memulihkan fungsi gambut yang rusak dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap banjir, kebakaran serta bencana lainnya.
Wetlands Internasional mengusulkan pemerintah untuk membentuk “Dewan Penasehat Pengelolaan Lahan Gambut Nasional” dengan tugas utama menyusun “Strategi Restorasi dan Konservasi Lahan Gambut Nasional” menggunakan anggaran yang memadai dan berbasis sain, serta melibatkan pakar nasional dan internasional. Adanya Dewan Penasihat dan Strategi ini diharapkan dapat:
- Mencegah kebakaran di lahan gambut pada tahun-tahun mendatang
- Mengawasi kesiapan pemerintah dan seluruh pemegang konsesi di lapangan dalam mencegah terjadinya kebakaran di wilayah mereka
- Menurunkan emisi GRK dari lahan gambut sesuai komitmen Indonesia kepada masyarakat Internasional
- Mencegah berkurang/hilangnya produktivitas lahan gambut akibat subsiden dan banjir
- Menghilangkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati di lahan gambut
- Mengkaji dan menselaraskan kebijakan lahan gambut untuk memastikan adanya regulasi yang memfasilitasi pembangunan berkelanjutan.
http://indonesia.wetlands.org/
Irwansyah Reza Lubis (rezalubis@wetlands.or.id)
Telly Kurniasari (telly.kurniasari@wetlands.or.id)
Jl. Ahmad Yani no 53 Bogor 16161
Telp 0251 - 8312189