Ini Kuliner Kaki Lima Khas Bandung, Paling Laris dan Populer

Ini Kuliner Kaki Lima Khas Bandung, Paling Laris dan Populer

Metroterkini.com - Di Bandung, Anda bisa dengan mudah menemukan seblak, mi kocok, dan cuanki di berbagai sudut kota. Namun, ketiga tempat makan di bawah inilah yang dikenal sebagai rajanya. 

1. Cuanki Serayu  Rasa Kuahnya Beda

Sepintas, cuanki mirip dengan bakso malang. Isinya antara lain tahu putih yang diisi aci, siomay, bakso, pangsit rebus, pangsit goreng, dan bakso goreng. Hanya saja, tak seperti bakso malang, cuanki tidak menggunakan mi kuning. Kuahnya yang gurih pun bening bertabur irisan daun bawang. Di Cuanki Serayu, masing-masing isi dibuat dalam ukuran cukup besar sehingga menyantap setengah porsi pun terasa kenyang.

Selain cuanki, Cuanki Serayu juga menyediakan batagor yang berisikan tahu, siomay kering, pangsit, dan bakso goreng. Bila Anda ingin bersantap di sana, mengantrelah di barisan yang biasanya mengular ke luar. Sementara, bila bermaksud dibawa pulang, Anda bisa langsung memesan di gerobak di bagian kanan depan.

Meski sebenarnya cuanki lebih nikmat dimakan saat udara dingin karena kuahnya yang panas, pembeli yang datang di Cuanki Serayu tak mengenal waktu. Siang sejak baru dibuka pun cuanki ini sudah mulai diserbu pengunjung. “Malah, kadang-kadang setengah jam sebelum kami belum buka, mereka sudah mulai mengantre,” ujar Rojim (40) yang menjadi pegawai pertama sejak Cuanki Serayu didirikan.

“Kadang-kadang, pembeli yang datang dari jauh juga enggak kebagian karena sudah habis,” imbuh Rojim sambil menambahkan, banyak pembeli yang datang dari luar kota seperti Jakarta. Meski dijual di pinggir jalan, tak kurang dari artis dan istri pejabat datang mencicipi gurihnya Cuanki Serayu, termasuk Annisa Pohan, menantu mantan presiden SBY. “Ada juga yang beli untuk dibawa ke luar kota seperti Bali dan Pekanbaru.”

Setiap hari, tempat makan yang libur setiap Senin pertama di awal bulan ini menghabiskan cuanki dan batagor masing-masing 200-300 porsi. Satu porsi cuanki atau batagor dihargai Rp15.000, sedangkan separuh porsi Rp10.000. Selain melayani pengunjung yang datang, lanjut Rojim, Cuanki Serayu sering menerima pesanan untuk berbagai acara, mulai dari arisan, ulangtahun, sampai pernikahan. “Kalau pesan minimal 100 porsi, kami kirim orang untuk melayani para tamu ditempat acara.”

Sejak awal didirikan tahun 1997, cuanki yang kini memiliki 15 orang pegawai ini memang berlokasi di Jalan Serayu, Bandung. Kasno, pria asal Kebumen yang merantau ke Bandung, sebelumnya memang berjualan cuanki dengan gerobak pikul dan mangkal di Jalan Serayu. Lezatnya cuanki Kasno membuatnya semakin laris dan akhirnya ia memiliki warung sendiri pada 1997 di tempat yang sama. Sejak itulah, cuanki Kasno diburu banyak orang.

2. Mi Kocok Mang Dadeng Langganan Para Artis

Mi kocok yang satu ini sangat legendaris di Bandung dan kini dikelola oleh generasi ketiga. Mulanya, Usman, orangtua dari Dadeng yang pertama kali berjualan mi kocok dengan cara dipikul berkeliling dari satu kampung ke kampung sekitar tahun 1967. Ketika ayah Dadeng meninggal, kakak-kakak Dadeng meneruskan usaha kuliner kaki lima khas Bandung ini. Namun, setelah salah satu kakaknya vakum, barulah Dadeng meneruskan usaha ini dan di tangannya lah usaha ini menampakkan kemajuan berarti.

Hingga akhirnya, tahun 1990 Dadeng mangkal di Jalan KH. Ahmad Dahlan 67, Buah Batu, Bandung, di seberang tempat usahanya sekarang. Para pembeli yang sudah ketagihan rasa mi kocok Dadeng akhirnya mendatangi warungnya. Dua tahun kemudian, rumah makan Dadeng pindah ke tempat sekarang. Makin hari, pembeli Mi Kocok Mang Dadeng makin ramai, terutama di akhir pekan dan hari libur.

Jangan heran melihat pembeli rela mengantre menunggu kursi kosong, terutama pada jam makan siang. Lezatnya mi kocok Mang Dadeng tak luput dari 15 macam rempah yang menjadi bahan bakunya, antara lain daun salam, lengkuas, ketumbar, dan sebagainya. Kuliner kaki lima khas Bandung sendiri terdiri dari mi gepeng berwarna kuning, tauge, dan potongan kikil yang sangat empuk karena direbus beberapa jam.

Bila beruntung, Anda juga bisa mendapatkan sumsumnya yang lezat. “Sumsum inilah yang jadi kelebihan kami dibanding mi kocok lainnya,” tutur Agus (35), keponakan Dadeng yang jadi pegawai di rumah makan sederhana itu. Mi kocok biasa dihargai Rp23.000, bila ditambah sumsum Rp27.000. Selain mi kocok, Dadeng juga menyediakan sop kaki sapi yang per porsinya dijual seharga Rp27.000, kalau ditambah sumsum harganya Rp30.000.

Lezatnya mi kocok ini rupanya tak hanya dikenal di kalangan warga Bandung dan sekitarnya saja. Pembeli dari luar kota termasuk Jakarta, bahkan dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, Jepang, dan Belanda, tak jarang mengunjungi tempat makan yang sederhana ini. Bulan Juni sampai September, menurut Agus, biasanya pembeli mayoritas wisatawan dari Malaysia.

“Malah, pembeli dari Jepang itu menawari Mang Dadeng untuk membuka cabang di Jepang, tapi Mang Dadeng menolak karena terlalu jauh. Sementara, di sini saja pembelinya banyak,” papar Agus. Ia menambahkan, dalam seminggu biasanya ada publik figur seperti pemain bola dan artis yang menyukai mi kocok ini. Di antaranya, Arman “Gigi”, Laudya Cynthia Bella, dan Paramitha Rusady.

Pada hari Senin sampai Kamis, lanjut pria bersuara kalem ini, biasanya tempat ini menghabiskan 700 porsi per hari, sedangkan saat akhir pekan bisa 1.000 porsi per hari. Sementara, saat Lebaran bisa mencapai 2.500 porsi per hari. Kini, mi kocok yang sering dipesan untuk acara pernikahan, rapat, dan jamuan ini dikelola oleh anak keempat Dadeng, meski sang ayah yang kini berusia 71 tahun masih tetap mengawasi jalannya usaha kuliner kaki lima khas Bandung ini.

3. Seblak Oces Wangi Kencur Bikin Penasaran

Saat Seblak Oces dimulai 3-4 tahun silam, masih jarang yang berjualan seblak. “Dulu, Ayah pernah bikin seblak dari kerupuk udang. Tapi kami lalu mengembangkannya lagi,” ujar Dudi (33). Ia menambahkan, adiknya yang bernama Nia (21) yang merintis usaha kuliner kaki lima khas Bandung ini pada awalnya dengan bantuan orangtua. “Di rumah, kami memang terkadang membuat makanan yang aneh-aneh. Nah, adik saya waktu itu membuat seblak untuk disuguhkan pada teman-temannya yang datang.”

Karena seblak buatannya disukai, Nia lalu mencoba menjualnya. Untuk mendapatkan nama, “Oces” dipilih lantaran semasa kecil tingkah Nia tak bisa diam alias oces dalam bahasa Sunda. Sebagai langkah awal, ia berjualan di depan rumah orangtuanya selama beberapa bulan pertama. “Tak sedikit tetangga yang bilang itu makanan aneh karena kerupuk, kok, dibuat seperti itu. Namun, lebih banyak respons positifnya, sehingga pembelinya makin lama makin banyak,” paparnya sambil menambahkan, seblak buatan adiknya dijual dengan harga Rp4.000 per porsi.

Setelah itu, seblak yang kemudian dibuat ibunya itu dijual dengan gerobak di kaki lima di daerah Purnawarman, dekat Bandung Electronic Center (BEC). Seblak yang dijual pun tak lagi menggunakan kerupuk udang seperti sebelumnya, melainkan kerupuk warna-warni. Seblak sendiri memiliki dua versi, yaitu kering atau kuah nyemek dan kuah basah. Seblak Oces sendiri merupakan seblak basah yang berisi kerupuk, siomay, batagor, ceker, dan bakso.

Awalnya, penjualan kuliner kaki lima khas Bandung ini naik-turun antara 5-10 porsi per hari. Namun, respons positif yang lebih banyak berdatangan membuat seblak ini makin banyak penggemarnya. “Karena menggunakan kencur, banyak orang lewat yang kemudian mampir dan mencoba karena penasaran apa yang kami jual sehingga beraroma kencur. Kebanyakan awalnya mereka bertanya apa itu seblak?” tuturnya sambil tersenyum.

Akhirnya, Seblak Oces mencapai standar penjualan minimal 25 porsi per hari. “Promosi dari mulut ke mulut yang membuat seblak kami laris. Dalam sehari, seblak kami bisa laku sampai 400 porsi. Kami belum buka pun, sudah ditunggu pembeli,” imbuh Dudi sambil menambahkan, setahun setelah pindah ke Purnawarman, Seblak Oces membuka cabang di depan kampus Universitas Islam Bandung, di Jalan Tamansari.

Perkembangan yang pesat membuat Seblak Oces  membuka cabang lagi di daerah Pasir Kaliki, Jalan Dipati Ukur, dan Antapani. Masing-masing cabang dikelola oleh Dudi, Nia, kakak, dan saudaranya masing-masing dibantu satu pegawai. Meski kini banyak orang yang mengikuti jejak Seblak Oces dan situasi ekonomi sedang tak menentu, Dudi tak masalah. Hal itu justru membuat ia dan keluarganya terus berpikir lebih maju dan berinovasi.

“Lagipula, ini justru di luar perkiraan. Biasanya, makanan aneh-aneh di Bandung yang “meledak” penjualannya setelah itu cepat sekali hilang, paling-paling setahun. Namun, kuliner kaki lima khas Bandung bisa bertahan hampir lima tahun dengan kondisi banyak kompetitor, menurut saya sudah cukup bagus,” tukas pria yang merasa senang dengan banyaknya orang yang berjualan seblak, termasuk di luar kota ini. Itu berarti makanan kreasi keluarganya diakui banyak orang.

Bila awalnya hanya menjual seblak biasa, sejak 1,5 tahun terakhir Seblak Oces juga ditambahi ceker dan bakso. Harga per porsi untuk seblak biasa Rp8.000, ditambah ceker ayam Rp10.000, dan ditambah ceker plus bakso Rp12.000. Dalam sehari, masing-masing cabang menjual 70-100 porsi. Meski kelasnya kaki lima, Seblak Oces rajin ikut bazar di berbagai kampus dan berpromosi di media sosial Twitter dan Facebook. “Makanya banyak pembeli Oces dari luar kota terutama Jakarta.” Siap mengudap kuliner kaki lima khas Bandung? [tabloidnova]

Berita Lainnya

Index