Metroterkini.com - Masuknya Islam ke Indragiri yang meliputi kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan Kuantan Singingi propinsi Riau diduga terjadi sejak abad ke 14. Dari kerajaan Samudera Pasai di Aceh, Islam kemudian menyebar ke Indragiri melalui perairan Sungai Rokan dan Sungai Indragiri.
"Masuknya Islam ke Indragiri pada masa Raja Narasinga II. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam Syech Abdul Rauf Singkili sebagai autokrasi atau penasihat ritual Raja Narasinga II," ujar Saharan, Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batu Sangkar Wilayah Sumbar, Riau dan Kepulauan Riau, dilansir dari laman merdeka (27/6/15).
Raja Narasinga II bergelar Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandar Syah Johar Zikrullah fil Alam, Sultan yang ke IV, Sultan Pertama di Indragiri, sekitar abad ke 14 hingga ke 15.
"3 Sultan sebelumnya posisinya tidak di Indragiri namun tinggal dan menetap di Malaka, sedangkan Raja Narasinga II inilah Sultan Indragiri pertama yang menetap di Indragiri makanya disebut Sultan Indragiri yang pertama," jelas Saharan.
Hingga kini peninggalan kerajaan Islam di Indragiri masih ada. peninggalan tersebut salah satunya berupa makam. Namun makam yang ada pun tergolong unik dan tidak biasa. berikut makam-makam aneh dan tidak biasa peninggalan kejayaan Islam di Indragiri tersebut.
1.Makam Islam dan Nasrani berdampingan
Dua makam yang berdampingan yakni makam Raja Narasinga II dengan makam bekas tawanan perangnya yang kemudian diangkat sebagai menterinya yakni Jenderal Verdicho Marloce berdampingan. Makam Raja Narasinga II yang ornamennya melayu simbol seniotik Islamic.
Sementara, makam Jenderal Verdicho Marloce identik dengan simbol seniotik identitas diri Nasrani yang berlambangkan salib pada batu nisannya disebelah makam Raja Narasinga II.
Kedua makam ini terletak di Kawasan Cagar Budaya peninggalan sejarah kerajaan Indragiri, di Desa Kota Lama kecamatan Rengat Barat, kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.
Raja Narasinga II ini berperang dan berjuang merebut kota Malaka dari kekuasaan kerajaan Portugis dibawah komando Jenderal Verdicho Marlos sebagai panglima perangnya, selama 20 tahun antara tahun 1512 sampai 1532.
"Jenderal Verdicho Marloce beragama Nasrani, namun mengabdikan diri kepada Raja Narasinga II yang notabene beragama Islam. Artinya Jenderal Verdicho mengabdi pada Islam, namun tetap pada agamanya hingga akhir hayatnya," ujar Saharan, Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batu Sangkar Wilayah Sumbar, Riau dan Kepulauan Riau, saat berbincang dengan merdeka.com Kamis (25/6) malam.
Dikatakan Saharan, Jenderal Verdicho sebelumnya merupakan panglima perang Portugis yang memiliki otak pintar. Namun saat perang melawan Raja Narasinga II di Selat Malaka yang dikenal dengan perang Teluk Ketapang sekitar Abad ke 15, Jenderal Verdicho dan anak buahnya kalah dan menjadi tawanan perang.
"Pada perang itu dimenangkan oleh Raja Narasinga II, sementara Jenderal Verdicho menjadi tawanan perang raja Narasinga, hingga akhirnya dimanfaatkan menjadi menteri di kerajaan Indragiri karena kepintarannya," kata Saharan.
Hingga pada akhirnya, Raja Narasinga II meninggal lebih dulu daripada Jenderal Verdicho. Kemudian jenazah Jenderal Verdicho dimakamkan bersebelahan dengan Raja Narasinga II, sejajar dengan para menteri lainnya.
"Dilihat dari jenis batu nisannya, Raja Narasinga II lebih dahulu wafat, kemudian disusul Jenderal Verdicho Marlos. Sehingga diberikan sebuah penghormatan kepada Jenderal Verdicho dimakamkanlah disebelah makam Raja Narasinga, sejajar dengan para menteri lainnya," katanya.
"Artinya, Narasinga II memegang teguh kebijakan kerukunan antar umat beragama, karena tidak pernah memaksakan Jenderal Verdicho untuk pindah agama," lanjut Saharan.
Raja Narasinga II bergelar Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandar Syah Johar Jirullah fil Alam, Sultan yang ke IV, Sultan Pertama di Indragiri.
"3 Sultan sebelumnya posisinya tidak di Indragiri namun tinggal dan menetap di Malaka, sedangkan Raja Narasinga II inilah Sultan Indragiri pertama yang menetap di Indragiri makanya disebut Sultan Indragiri yang pertama," jelas Saharan.
Menurut Saharan, Raja Narasinga II juga menyebarkan syiar agama Islam di wilayah kekuasaannya, saat itu belum terbentuk negara Indonesia dan Malaysia.
"Kalau dilihat peta sekarang, wilayah kekuasaan Raja Narasinga II itu meliputi Malaka Raya termasuk Malaysia dan Riau, yang dibuktikan dengan munculnya kerajaan Sijori (Singapore Johor Riau) di Daek Lingga kepulauan Riau," terang Saharan.
Narasinga dijemput dengan menggunakan rakit kulim oleh Datuk Perpatih Nansabatang ke Malaka, lalu dibawa ke Indragiri, karena di Indragiri tidak ada pemimpin saat itu.
Menurut Saharan, Raja Narasinga II menyebarkan syiar agama Islam di wilayah kekuasaannya, saat itu belum terbentuk negara Indonesia dan Malaysia.
"Kalau dilihat peta sekarang, wilayah kekuasaan Raja Narasinga II itu meliputi Malaka Raya yakni (sebagian wilayah) Malaysia dan Riau, yang dibuktikan dengan munculnya kerajaan Sijori (Singapore Johor Riau) di Daek Lingga kepulauan Riau, sebagai wilayah penyebaran agama Islam oleh Raja Narasinga II bersamaan dengan Raja dan ulama lainnya," terang Saharan.
Menurut Saharan, dalam menyebarkan agama Islam, Raja Narasinga mengembangkan ajaran Tarikat sattariyah bersama Syech Abdul Rauf Singkili. Mereka berpegang teguh kepada Islam, Iman dan Ihsan.
"Ajarannya kuat iman kuat taat, kuat taat kuat syariaat, kuat syariaat kuat hakikat, dan kuat hakikat kuat Maarifat, itu merupakan pendalaman ajaran agama Islam versi Syech Abdul Rauf sebagai penasehat ritual Raja Narasinga II," jelas Saharan.
Atas ajaran tersebut, alhasil banyak masyarakat Indragiri yang memeluk hingga mendalami ajaran agama Islam.
2.Makam Datuk Dubalang Sakti panjangnya sampai 10 meter
Datuk Dubalang Sakti, disebut-sebut sebagai kepala suku Talang Mamak yang hidup sekitar Abad ke 15 hingga 16. Sesuai namanya, Dubalang yang hidup di tengah hutan pinggiran sungai itu dikenal memiliki kesaktian tinggi di masanya.
Di akhir hayatnya, Datuk Dubalang Sakti dimakamkan di pinggir sungai desa Pasir Kelampaian kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau.
"Datuk Dubalang Sakti memang bukan keturunan Raja. Namun, beliau dikenal sebagai kepala Suku Talang Mamak yang sangat sakti, hingga makamnya dibuat panjang sebagai penghargaan atas kesaktiannya selama hidup," ujar Saharan Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batu Sangkar Wilayah Sumbar, Riau dan Kepulauan Riau.
Menurut Saharan, pada zaman kerajaan dulu, orang yang memiliki kesaktian diberi gelar datuk sebagai rasa hormat. Namun demikian, datuk itu tidak pernah menunjukkan ataupun pamer kesaktian.
"Datuk biasanya hidup menyendiri, di tepi sungai jauh dari keramaian. Akses jalan saat itu selain jalan kaki dari hutan, juga dengan rakit yang mereka buat melalui jalur sungai," terang Saharan.
Datuk Dubalang Sakti memang tidak terlalu muncul ke permukaan ataupun bekerja dengan Raja. Dia hanya hidup menyendiri seperti melakukan aktivitas yang kurang diperhatikan oleh masyarakatnya saat itu.
"Kalau tidak salah, datuk Dubalang Sakti hidup sejak abad 15 hingga abad 16, setelah massa kerajaan Indragiri di bawah kekuasaan Raja Narasinga II," jelas Saharan.
Kini, makam Datuk Dubalang Sakti ditumbuhi semak belukar yang tidak begitu rumpun. Namun, makam yang dianggap keramat tersebut kerap disinggahi oleh pemuda setempat jika hendak merantau dari kampungnya ke luar daerah.
"Makamnya memang panjang sekitar 10 meter, dan itu bukan karena tubuhnya sepanjang itu. Melainkan karena rasa hormat dan penghargaan atas kesaktiannya oleh penduduk terhadapnya, makanya makamnya dibuat panjang," pungkas Saharan.
3.Makam Panglima Jukse Besi sepanjang 12 meter
Selain makam Sultan Narasinga II yang bergelar Paduka Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam (1473-1532) di desa Kota Lama kecamatan Rengat Barat kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau juga ada makam Andi Sumpu Muhammad bergelar Panglima Jukse Besi.
Makam panglima perang kesayangan Raja Narasinga II itu terbilang unik karena ukurannya yang tidak biasa. Makam itu juga tidak berdempetan dengan makam para Raja dan keturunannya. Makam Panglima Jukse Besi yang diyakini sangat sakti ini ditempatkan tersendiri dengan panjang berkisar 12 meter dan lebar dua meter.
"Makamnya panjang, bukan karena postur tubuhnya yang tinggi, melainkan karena kebesaran dan kehebatannya sebagai panglima Raja, sehingga dibuatlah makam yang panjang," ujar Saharan Sepur, Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batu Sangkar Wilayah Sumbar, Riau dan Kepulauan Riau.
Menurut Saharan, secara logika tidak ada manusia yang hidup di zaman kerajaan ini dengan postur tubuh setinggi 12 meter. Sebab, belum ada ditemukan bukti peninggalan bangunan yang menandakan ukuran pintu istana maupun rumah setinggi 12 meter seperti anggapan segelintir orang.
"Jadi, diperkirakan ukuran tinggi tubuh Panglima raja itu biasa saja, sama seperti kita. Hanya saja zaman dulu tidak ada piagam atau lancang maupun penghargaan sebagai tanda jasa ketangguhan panglima tersebut," jelas Saharan.
Panjangnya makam Panglima hingga 12 meter tersebut, diyakini hanya sebagai penghormatan terakhir kepada Panglima dengan dipanjangkannya makam tersebut. Selain itu juga agar para wisatawan maupun peziarah lebih mudah mengunjungi tanpa berlama-lama mengantre.
Kawasan komplek tersebut berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Pembangunan dan pengembangan kawasan telah dimulai sejak lama dan penataan secara baik dilakukan sejak 1995 hingga sekarang lewat anggaran kabupaten Inhu, Pemerintah provinsi Riau dan pemerintah pusat.
Menurut Saharan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memaksimalkan keindahan dan pelestarian kawasan makam Raja tersebut.
Desa Kota Lama sebagai kawasan cagar budaya merupakan daerah yang menyimpan struktur cagar budaya antara lain benda-benda bekas bangunan kuno seperti benteng kerajaan dan makam serta benda-benda kuno bersejarah lainnya.
"Di kawasan itu terdapat berbagai keramik peninggalan Dinasti Ming, Cang serta keramik asal Vietnam berbentuk gerabah, kapak, serta benda kuno lainnya," tutup Saharan.[mdk]