Dugaan Korupsi, Bupati Bengkulu Tengah Dilaporkan ke Polda

Rabu, 23 Februari 2022 | 23:35:24 WIB

Metroterkini.com - Bupati Bengkulu Tengah, Ferry Ramli dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Bengkulu pada Desember 2021. Ferry dilaporkan dalam perkara dugaan korupsi pertambangan batu bara. 

Dalam laporan LP-A/1072/XII/2021/SPKT tertanggal 9 Desember 2021, disebutkan bahwa Bupati Bengkulu Tengah pada Desember 2013 menerbitkan SK Bupati Nomor 468 tentang perubahan kedua peta dan koordinat izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi PT Bara Mega Quantum (BMQ). Laporan itu menyebutkan, ada dugaan cacat hukum dalam penerbitan SK Bupati. 

Aktivitas produksi yang dilakukan perusahaan tambang dari 2017 hingga 2019 yang mencapai 953.000 metrik ton batu bara diduga menimbulkan kerugian negara. 

Kepala Bidang Humas Polda Bengkulu Kombes Sudarno menyatakan, proses penyidikan sedang berlangsung. Dengan demikian, terlapor dan pengacara diminta menunggu perkembangan penyelidikan. 

"Proses penyidikan sedang berjalan, maka ikuti saja proses penyidikan yang saat ini sedang berlangsung," ujar Sudarno, Rabu (23/2/2022). 

Terkait kasus ini, Asisten Tindak Pidana Khusus (Apidsus) Kejaksaan Tinggi Bengkulu Pandu Pramu Kartika mengatakan, pihaknya telah menyiapkan tim jaksa apabila kasus ini dilimpahkan oleh penyidik Polda Bengkulu. 

"Seperti biasa, kejaksaan telah menunjuk sejumlah JPU apabila perkara ini dilimpahkan ke kejaksaan untuk dipelajari," ujar Pandu. 

Bantahan kuasa hukum terlapor Kuasa hukum Ferry Ramli, Muspani meminta Polda Bengkulu mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), karena menurut dia, polisi bertindak di luar kewenangannya. 

"Klien kami dituduh korupsi di bidang pertambangan yang mendasari penerbitan SK Nomor 468 Tahun 2013, di mana SK itu dibuat klien kami Bupati Bengkulu Tengah Ferry Ramli," kata Muspani kepada wartawan di Bengkulu, Rabu. 

Menurut Muspani, SK tersebut menyangkut bagian dari konsesi tambang PT BMQ. SK tersebut, menurut Muspani, berisi titik koordinat dari IUP yang dikeluarkan oleh bupati sebelumnya, di mana dalam IUP itu disebutkan luas pertambangan perusahaan lebih dari 3.000 hektar. 

Kemudian, karena luasan itu berbeda dengan bupati sebelumnya, yakni Bupati Bengkulu Utara (sebelum Kabupaten Bengkulu Tengah memisahkan diri), maka Gubernur memerintahkan Bupati Bengkulu Tengah untuk melakukan revisi terhadap koordinat itu. 

"Atas perintah Gubernur, maka dibuatlah tim ESDM Bengkulu Tengah. Maka ditetapkanlah luas lahan tambang menjadi 1.900 hektar. Oleh Polda Bengkulu, SK ini cacat formil dan materil. Ketika polisi bicara cacat formil dan materil, ini bukan ranah pidana, tapi hukum administrasi negara," kata Muspani.   

Menurut Muspani, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di mana UU ini mengatur bahwa pejabat pemerintah dilindungi karena diberikan wewenang untuk membuat keputusan dan dijamin untuk kepastian hukum. 

"Termasuk polisi harus tunduk pada UU ini, karena polisi juga pejabat dalam tata usaha negara. Maka ketika penyidik menilai sebuah SK, maka dalam hal ini terjadi sengketa wewenang atau dalam kata lain sudah melampaui wewenang dalam menilai SK," kata dia. 

Muspani mengatakan, UU tersebut justru mengarahkan apabila terjadi sengketa kewenangan, maka jalurnya adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selanjutnya, Muspani menyebutkan, dalam lampiran SK poin 37 disebutkan bahwa perusahaan tidak bisa melakukan penambangan sebelum mendapatkan izin pinjam pakai kawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

"Artinya, izin final PT BMQ melakukan penambangan adalah izin yang dikeluarkan Menteri Kehutanan, SK 6528 Tahun 2017. Nah, SK yang dikeluarkan klien kami itu pelengkap, dia menjadi bagian yang dievaluasi dalam perizinan ini. Pertanyaannya, di mana kerugian negara akibat SK yang dikeluarkan klien kami?" kata dia. 

Menurut Muspani, apabila penyidik ingin melakukan pengusutan, maka harus menguji semua item konsesi dan perizinan yang dimiliki PT BMQ ke pengadilan. 

"Andai itu dilakukan penyidik, di PTUN, dan menang belum tentu ada korupsi dalam hal ini, karena semua konsesi itu diatur oleh banyak UU lex specialis, UU Lingkungan Hidup, Kehutanan, ESDM, UU Otonomi daerah," kata dia. 

Berdasarkan pertimbangan itu, Muspani meminta agar Polda menghentikan penyidikan. "Maka sudah seharusnya penyidik menghentikan penyidikan," kata dia. [**]
 

Terkini