Metroterkini.com - Mahkamah Agung (MA) berpendapat keputusan terhadapa Setya Novanto tetap tidak dihapus perbuatan pidana yang disangkakan. Esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka dan tidak menghilangkan pidananya itu sendiri.
Demikian disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) Perma Nomor 4 Tahun 2016, putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik ??untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.
"Kalau Penyidik sudah paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, beda dengan alat bukti sebelumnya yang berhubungan dengan materi perkara, yang bisa pakai tersangka lagi," jelas Abdullah.
Terkait dengan putusan praperadilan Setya Novanto, Abdullah mengatakan, apakah MA menghormati apa yang telah diputuskan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Abdullah juga mengaku KPK masih memiliki kesempatan untuk mentersangkakan kembali Setya Novanto. "Sekali lagi, kami bersatu KPK masih ada kesempatan untuk kembali tersangkanya," katanya.
Berdasarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 pasal 2 ayat (3), Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik ??untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka kembali, setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah. Hal itu berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berhubungan dengan materi perkara.
"Berdasarkan Pasal 2 ayat 3 Perma 4 2016 tersebut kembali ke KPK untuk tidak melanjutkan atau perkawinan Setya Novanto. Ini semua terpulang ke KPK untuk tetap atau tidak maju," ujarnya.
Abdullah menambahkan, sejak awal sidang praperadilan digelar, Mahkamah Agung terus melakukan secara tertutup. Hingga putusan praperadilan dijatuh Cepi Iskandar, Mahkamah Agung terus terjangkitnya opini masyarakat putusan tersebut.
"MA juga mengerti berbagai komentar masyarakat kepada hakim pemeriksa perkara. Dan hal tersebut merupakan hak asasi manusia dengan cara yang benar," ucapnya.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi menanggapi, penyidik ??aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang sudah dipakai untuk kembali menjerat tersangka yang statusnya menang praperadilan. Hal ini adalah salah satu pertimbangan MK dalam putusan uji materi terhadap Pasal 83 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Hal ini harus dipahami sesuai ketentuan perundang-undangan, maka penyidikan baru bisa dilakukan," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Selain itu MK juga tidak sependapat dengan argumentasi pemohon yang dimaksud dengan persyaratan tersangka adalah saksi dua alat bukti baru yang sah dan belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan, dan berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berhubungan dengan materi perkara.
Tindakan dalam hal ini dapat dilakukan karena alasan formalitas belaka yang tidak terpenuhi.
"Alat bukti ini baru bisa ditawar secara substansial oleh penyidik ??pada penyidikan yang baru, dengan demikian alat bukti bukti sudah menjadi alat bukti baru," kata Anwar.
Oleh karena itu, terhadap alat bukti yang telah disempurnakan oleh penyidik ??itu tidak boleh dikesampingkan dan tetap dapat digunakan sebagai dasar penyidikan yang baru dan dasar untuk tujuan kembali seorang menjadi tersangka.
Seperti perkara ini diajukan oleh tersangka kasus restitusi pajak PT Mobile 8, Anthony Chandra Kartawiria yang pernah mengajukan permohonan praperadilan dan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 29 November 2016.
Akan kembali penyidik ??kemudian kembali isi surat perintah penyidikan (sprindik) yang dinilai pemohon hanya dengan penuhi sedikit materi dugaan tindak pidana.
Atas kejadian tersebut, pemohon merasa dapat dipercayai, jika diakui pasal 83 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana Pidana dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Atas permohonan tersebut, amar putusan Mahkamah Agung ganti permohonan Pemohon untuk berlaku.
Seperti diketahui, boleh tidaknya alat bukti yang sudah digunakan sebelumnya untuk dipakai dalam perkara selanjutnya menjadi polemik dalam kasus Setya Novanto.
Saat itu, Hakim tunggal kasus praperadilan Setya Novanto, Cepi Iskandar memenangkan gugatan Setya Novanto. Alhasil, status tersangka kasus e-KTP terhadap Setya Novanto dari KPK gugur.
Hakim Cepi menilai alat bukti KPK atas Setnov berasal dari penyidikan terhadap terpidana kasus korupsi e-KTP, Irman dan Sugiharto. Hakim Cepi menilai alat bukti yang sudah dipakai tak bisa digunakan kembali. [mer]