Metroterkini.com - Manajer Kampanye dan Advokasi Walhi Bengkulu, Sony Taurus, menyebutkan bahwa titik api yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan banyak ditemukan di areal konsesi korporasi baik perkebunan maupun Hutan Tanaman Indsutri (HTI).
Ia melanjutkan, berdasarkan penulusuran pihaknya pada tahun 2014 kebakaran serta bencana asap mulai terjadi dua kali dalam setahun. Peningkatan ini berbanding lurus dengan peningkatan izin konsesi sawit dan HTI.
"Dari pantauan Walhi di wilayah yang setiap tahunnya dilanda kebakaran hutan dan lahan sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi korporasi baik perkebunan maupun HTI," kata Sony Taurus, Minggu (13/9/2015).
Pada tahun 2014, titik api yang ditemukan di kawasan hutan yang dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) ditemukan 4.084 titik api di 150 konsesi dan 603 titik api di 85 konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA).
Sementara itu, lanjut Sony, pada 2015 ada 383 titik api di hutan tanaman industri dan 426 titik di konsesi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Di Kalimantan Barat, ada 314 sebaran dan titik api berada di wilayah konsesi.
Pencemaran asap yang telah melampaui ambang batas kesehatan manusia ini diakibatkan oleh praktik buruk korporasi, perusahaan membakar lahan ketika land clearing.
Sony menegaskan, kejahatan korporasi ini bukan hanya melanggar hukum, tapi juga melanggar hak asasi manusia secara serius, khususnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana termaktub dalam Konstitusi pasal 28 H, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan UU No. 39/1999 tentang HAM, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya.
"Korporasi telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena memenuhi unsur terencana dan meluas. Selain itu berdampak luar biasa bagi masyarakat," ucap Sony.
Pemerintah selaku pihak yang berkewajiban dalam mengontrol dan mengendalikan operasi dan dampak aktivitas korporasi dinilai cenderung menghindar dari tanggung jawab yang seharusnya. Pemerintah, lanjutnya, justru terkesan memaksa rakyat untuk beradaptasi dengan pencemaran yang ekstrim dengan bahasa bencana.
Menurut Sony, lucunya, masyarakat kecil yang dijadikan kambing hitam karena itu kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi seharusnya dilakukan upaya penegakan hukum. Selain itu, Sony menekankan pentingnya penghentian sementara aktivitas eksploratif di wilayah ekologi genting, unik, dan penting, untuk memulihkan daya dukung lingkungan dengan mencabut perizinan perkebunan skala besar dan HTI.
"Sebaiknya pemerintah melakukan perluasan ruang kelola rakyat dengan memberikan lahan konsesi yang telah dicabut kepada masyarakat yang terbukti mampu mengelola dan melindungi kawasan hutan dan gambut secara adil dan lestari," lanjutnya.
Dampak lingkungan kejahatan korporasi tidak terikat batas adminstrasi apalagi konsesi. Masyarakat di Bengkulu bisa menjadi korban dari kejahatan korporasi di Riau atau Jambi.
"Kami meminta pemerintah melindungi hak rakyat atas lingkungan yang baik dan sehat," ungkap Sony. [kompas]