Abrasi jadi Bencana, BPBD Bengkalis Gelar Rakor dan Diskusi

Abrasi jadi Bencana, BPBD Bengkalis Gelar Rakor dan Diskusi

Metroterkini.com - Abrasi yang dialami wilayah pesisir Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat khususnya Rupat Utara sudah masuk katagori bencana. Pasalnya, beberapa perkampungan dan kuburan masyarakat, yang dulunya berjarak ratusan meter dari bibir pantai, sekarang sudah menjadi lautan akibat abrasi Laut Selat Malaka.

Kondisi ini tentu tidak bisa terus dibiarkan. Harus ada upaya pencegahan agar abrasi tidak semakin meluas menggerus Pulau Bengkalis yang merupakan salah satu pulau terluar di Republik Indonesia.

Untuk itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bengkalis salah satu instansi yang diberi tanggungjawab dalam penanggulangan abrasi menggelar rapat koordinasi dan diskusi terkait penanggulangan bencana abrasi di Pulau Bengkalis dan Rupat, Rabu (5/6/24).

Rapat koordinasi dan diskusi ini dengan tema ' Model Kebijakan Kebencanaan Abrasi Berbasis Kolaborasi di Wilayah Pesisir Kabupaten Bengkalis ' itu digelar di aula Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bengkalis.

Rapat tersebut dibuka oleh Kepala Pelaksana BPBD Supandi diwakili Sekretaris BPBD, Hasbullah, menghadirkan tiga orang narasumber dari Universitas Riau (UR), Prof. Dr. Sujianto, M.Si, Dr. Meyzi Heriyanto, S.Sos, M.Si, dan Rita Wati, SH, M.Kn, dan moderator Erzansyah, S.Ag dari BPBD.

Hadir sebagai peserta perwakilan dari Bappeda, DLH, Dinas PMD, Dinas Perikanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, PUPR, Dinas Perkim, Politeknik Negeri Bengkalis, Camat Bengkalis, Camat Rupat, Camat Bantan, Camat Rupat Utara, UPT PSDKP wilayah I, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau, Kepala UPT KPH Bengkalis, Dinas LH Provinsi Riau, Kades Simpang Ayam. Kades, Prapat Tunggal, Kades Meskom, Kades Muntai, Kades Selat Baru, Kades Tanjung Medang, Kades Sungai Cingam, PT. Meskom, PT. SRL, PWI, LSM Bahtera Melayu, Kelompok Pengawas Masyarakat Papal Sejahtera, dan Kelompok Masyarakat Konservasi Lingkungan Pesisir

Hasbullah dalam sambutannya mengatakan, berdasarkan UU 24/2007 tentang penanggulangan bencana, BPBD berwenang mengkoordinasikan pengendalian, pengumpulan, dan penyaluran bantuan darurat pada tingkat daerah.

Namun demikian, ungkap Hasbullah, penanggulangan bencana termasuk bencana abrasi merupakan tanggungjawab bersama, pemerintah, akademisi, media, lembaga swadaya masyarakat penggiat lingkungan, Kepala desa dan masyarakat.

"Kolaborasi sangat diperlukan untuk mencari solusi dalam menanggulangi bencana abrasi wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis," ujarnya.

Sementara itu, Profesor Sujianto sebagai narasumber memaparkan, bencana abrasi sebagaimana dialami wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis khususnya Pulau Bengkalis dan Rupat dapat merugikan negara baik secara ekonomi maupun geografi. Terjadinya pergeseran garis pantai oleh abrasi dapat mengurangi luas wilayah Indonesia.

Selain itu, abrasi merugikan ekonomi masyarakat. Karena kebun mereka habis tergerus abrasi.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan dengan menanam mangrove atau pohon bakau. Akar bakau yang kuat akan dapat menahan gelombang dan arus laut menuju pantai. Selain itu, dengan memasang batu pemecah gelombang.

Begitu vitalnya peran sebatang pohon bakau sebagai penahan gelombang, dan arus laut dalam mencegah abrasi. Sampai-sampai Prof Sujianto berucap "Kekurangan satu komoditas mangrove, kita kehilangannya seribu kata," ujarnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Dr. Meyzi Heriyanto mengatakan, selain menggerus pesisir abrasi juga menggerus ekonomi, sosial politik dan geografis Indonesia.

Menurut Meyzi, ada 5 pendekatan terhadap bencana abrasi. 
1. Abrasi bagian tatanan alam.
2 . Metafisika religius, bencana sebagai meditasi kekuatan ilahi.
3. Pendekatan teknokratik 
4. Pendekatan Sosio historikal (dipicu alam, tapi diantisipasi manusia) 
5. Kultural subjektifitas (dibuat oleh manusia)

Mengapa harus berkolaborasi? Karena negara tidak bisa sendiri menyelesaikan persoalan bencana, seperti bencana abrasi di wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis.

Untuk itu, dalam membentuk kolaborasi diperlukan kerangka hukum (regulasi) agar masing-masing bisa berperan.

Selain itu, dalam menanggulangi bencana kadangkala muncul masalah konflik kepentingan. Ini harus diselesaikan. Jika tidak, akan sulit menyelesaikan bencana seperti abrasi.

Berbagai pola penanggulangan bencana abrasi di wilayah Pesisir Pulau Bengkalis dan Rupat, merupakan pengalaman panjang bagi pihak-pihak yang sudah terlibat sebelumnya. Berdasarkan pengalaman tersebut, tergambar mode mensiasati penangan bencana abrasi kedepan.

"Model sosial menjadi kanta kunci, dalam membangun koordinasi kebijakan penanggulangan bencana abrasi," kata Dr. Meyzi Heriyanto.

Sementara, Rita Wati, SH, M.Kn yang melakukan penelitian di beberapa titik wilayah abrasi, menegaskan, salah satu bencana alam adalah bencana abrasi. Seperti bencana abrasi yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis yang sangat memperhatikan, khususnya kawasan pesisir Selat Malaka. Namun, abrasi juga terjadi di Selat Bengkalis.

Di Prapat Tunggal, ungkapnya, objek wisata yang ada di desa tersebut tergerus abrasi. Bahkan di Desa Pangkalan Batang komplek perkuburan masyarakat sudah terimbas abrasi. Padahal posisinya di Selat Bengkalis yang seharusnya terlindung, tapi justru tergerus abrasi.

"Ini bukti, bahwa abrasi tidak hanya wilayah pesisir pantai Bengkalis yang berada dibibir Selat Malaka, terapi juga di Selat Bengkalis," ujarnya.

Berbagai gagasan dan solusi disampaikan oleh peserta. Pada intinya penanggulangan bencana abrasi harus menjadi skala prioritas agar pulau terluar ini selamat dari ancaman abrasi.

Sementara itu, dari pihak media meminta semua pihak yang terlibat dalam penanganan bencana abrasi agar transparan. Hal ini penting agar masyarakat tahu apa yang telah, sedang dan akan dibuat oleh pemerintah dalam mengurangi bencana abrasi. (Rudi)

Berita Lainnya

Index