Karhutla 2018, Problematika Restorasi Gambut di Riau

Karhutla 2018, Problematika Restorasi Gambut di Riau

Metroterkini.com - Tepat setelah dua tahun pemerintah Republik Indonesia berkomitmen dalam melakukan upaya restorasi lahan gambut untuk mencegah terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) melalui Perpres No. 1 tahun 2016 dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), namun tahun 2018 masih masuk menjadi tahun ke 20 terjadinya KARHUTLA di provinsi Riau dan di Indonesia pada umumnya.

Walaupun hari ini, Senin (19/02/2018) sudah dimulai dengan curah hujan yang cukup besar namun belum ada kepastian apakah cuaca panas akan berkepanjangan lagi, beberapa minggu yang lalu lahan-lahan gambut sudah mulai mengalami kebakaran hebat baik itu diareal masyarakat maupun lahan perusahaan. Namun dari dua titik kejadian kebakaran yang baru-baru ini terjadi, di Desa Lukun Kec. Tebing Tinggi Timur Kab. Kepulauan Meranti dengan luas hampir mencapai 200 ha dan kurang lebih 170 ha di Desa Pangkalan Terap Kec. Teluk Meranti Kab. Pelalawan keduanya berada di sekitar lahan masyarakat  bahkan terjadi juga di dalam areal perusahaan. Yaitu PT. National Sago Prima (NSP) HTI Sagu  dan PT. Sumber Sawit Sejahtera (SSS) usaha perkebunan.

Ujang Masni yang merupakan Ketua Basis Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Desa Pangkalan Terap mengatakan” saya dan perangkat desa Pangkalan Terap seketika mendengar informasi dari warga ada kebakaran kami langsung menuju kearah yang katanya ada kebakaran, namun kami tidak bisa mencapai titik yang terbakar karena tidak ada akses jalan areal yang kebakaran merupakan kebun sawit PT. SSS.

Sementara itu Ismail dari Badan Pelaksana Pusat (BPP) JMGR mengungkapkan, dua areal terbakar tersebut cukup menjadi refresentasi bagi kita untuk melihat bahwa masih terjadi problematika dalam melakukan upaya pencegahan KARHUTLA baik yang dilakukan oleh BRG, BPBD, KLHK, Pemda, perusahaan dan pihak-pihak lain. Masyarakat masih dijadikan objek dalam upaya-upaya tersebut.

"Kita belum melihat bagai mana upaya ketika masyarakat dilarang membakar namun kemudian ada kompensasi berupa pengetahuan dan dukungan untuk mengolah lahan tanpa bakar. Kemudian kita belum melihat secara maksimal penegakan hukum dilakukan terhadap perusahaan yang arealnya masih mengalami KARHUTLA, kecendrunganya masih pada masyarakat secara individu baik itu masyarakat petani maupun pekerja di perusahaan,” ujarnya. 

Masih menurut Ismail, sinergisitas antara pihak-pihak yang melakukan upaya pencegahan, penangulangan dan perbaikan terhadap areal rentan terbakar khususnya gambut, perlu untuk terus ditingkatkan hal ini menjadi poin penting, JMGR sebagai organisasi masyarakat gambut juga mendorong dan melakukan upaya tersebut.

"Ada beberapa desa yang sudah kita fasilitasi dalam membuat peraturan lokal tentang pencegahan dan penanganan KARHUTLA, membentuk basis-basis masyarakat yang peduli terhadap penyelamatan gambut selain itu juga mendorong terbangunnya perekonomian masyarakat yang cukup untuk kehidupan juga sangatlah penting. Bagaimana kita akan mengajak masyarakat peduli terhadap gambut, ikut menjaga agar tidak terjadi KARHUTLA sementara untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah anak dan berobat ketika sakit  tidak terpenuhi. Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk hal tersebut, merangkul dan melibatkan masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan dan penagulangan KARHUTLA menjadi sangat penting sehingga masyarakat tidak merasa antara ada dan tidak ada," tegas Ismail. [***]

Berita Lainnya

Index