Metroterkini.com - PT Bukit Betabuh Sei Indah diduga telah membuat sengsara ratusan petani kelapa sawit yang berada di Desa Talang Tujuh Buah Tangga, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Untuk diketahui, warga mendapatkan lahan dengan cara membeli melalui pihak desa setempat, kini mereka harus berhadapan dengan pihak perusahaan. Hal itu terkuak setelah PT BBSI (Bukit Betabuh Sei Indah) mengklaim areal seluas 4000 Ha lahan milik.
Perusahaan mengklaim lahan warga masuk dalam areal PT BBSI dan saat ini kebun sawit warga tersebut sudah diluluh-lantakan pihak perusahaan HTI dengan alat berat, dan sebagian telah ditanami tumbuhan akasia.
"Konflik ini sudah terjadi sejak Agustus lalu. Setiap harinya, tidak kurang dari 10 alat berat milik perusahaan yang memporak porandakan kebun kami ini," kata juru bicara petani, Abdul Aziz, menceritakan kepada wartawan, Selasa (26/12/2017).
Selain ribuan hektar kebun yang telah diporak-porandakan, pihak PT BBSI juga telah merobohkan 2 unit rumah warga, dan 4 orang pemilik kebun juga telah mereka aniaya.
"Kondisi itu diperparah, setelah semua akses jalan menuju ke kebun kami diputus oleh pihak perusahaan. Lahan yang paling banyak dirusak pihak perusahaan berada di dusun IV," ujar Aziz menuturkan.
"Sejauh ini, sudah 4 periode kami sebagai petani bentrok dengan perusahaan lantaran mempertahankan hak, dan saat ini kami tidak mau lagi bentrok, melainkan mencari jalan keluarnya," tegas Aziz.
Ditambahkan Aziz, awalnya masyarkat berharap pemerintah daerah Kabupaten Inhu mampu menyelesaikan persoalan itu. Namun hasilnya nol koma nol.
"Jika perusahaan mengaku punya izin, kami petani juga punya surat atau legalitas berupa Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR). Kalau kedua-duanya saling ngotot, enggak akan ada penyelesaian. Malah petani yang akan semakin menderita, bisa-bisa ada yang korban jiwa akibat berbenturan dengan pihak keamanan perusahaan," ketus Aziz.
Dengan demikian lanjut Aziz, sebagai petani dirinya bersama warga lain meminta pertanggungjawaban pemerintah desa dan kecamatan atas surat atau legalitas lahan yang sudah mereka terbitkan.
"Jika surat yang kami miliki bisa dipertanggung jawabkan, maka pemerintah harus tegas terhadap perusahaan. Jika sebaliknya, itu artinya pemerintah desa dan kecamatan sudah menipu kami sebagai warga yang membeli lahan tersebut," beber Aziz.
Untuk diketahui lanjutnya, setiap warga yang membeli lahan di areal itu, warga harus mengeluarkan dana untuk pengurusan SKGR sebesar Rp1,5 juta. Dan itu diluar biaya pengukuran dan tandatangan sempadan.
Terang Aziz, setiap transaksi jual beli lahan, pemerintah desa juga meminta fee sebesar 10 persen. Dan rata-rata harga 1 hektar lahan sebesar Rp20 juta. Bagai mana tidak, kepala desa Talang Tujuh Buah Tangga, Sierlina, mampu membeli mobil mewah jenis pajero sport.
Dengan demikian, atas nama petani dirinya meminta aparat penegak hukum, termasuk inspektorat Inhu untuk menelusuri aliran dana pembuatan SKGR dan fee transaksi pembelian lahan tersebut. [***]