Pengelolaan Lahan Gambut APP Ancam Banjir dan Kekeringan

Pengelolaan Lahan Gambut  APP Ancam Banjir dan Kekeringan

Metroterkini.com - Pada tahun 2013 Asia Pulp and Paper (APP) berkomitmen untuk menggunakan serat perkebunan bukan membuka hutan alam. Namun, pada tahun yang sama APP mengumumkan pembangunan pabrik pulp multi-miliar dolar di Sumatera Selatan, Indonesia. 

Sebuah laporan yang diluncurkan dua belas LSM, Rabu 20 April 2016 di Belanda termasuk Wetlands International, menunjukkan bahwa ada risiko tinggi bahwa basis pasokan dari serat kayu perkebunan untuk pabrik ini tidak aman. 

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh degradasi lahan gambut yang dikeringkan untuk perkebunan pulp untuk kertas. Lahan gambut dikeringkan menyebabkan peningkatan risiko kebakaran, penurunan tanah, emisi karbon, dan banjir yang menyebabkan hilangnya produktivitas lahan. perkebunan lahan gambut ini merupakan 77% dari basis pasokan untuk pabrik.

Dalam rilis Wetlands International, P.O. Box 471, 6700AL Wageningen, The Netherlands kepada metroterkini.com, APP telah berkomitmen untuk berkontribusi dengan target Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Degradasi lahan gambut di Indonesia menghadirkan tantangan besar bagi komitmen Indonesia untuk Perjanjian Iklim Paris yang akan ditandatangani pada Jumat. Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar di dunia dari emisi gas rumah kaca, dengan 50 persen dari emisi dari deforestasi lahan gambut dan drainase.

Lahan gambut dan bencana kabut
Pembukaan kanal di lahan gambut membuat daerah sangat rawan kebakaran, seperti bencana kabut asap yang telah berlangsung selama ini. Hal itu berdampak pada kesehatan masyarakat dengan jutaan orang menghirup kabut beracun, menyebabkan penyakit pernafasan dan beberapa kematian. 

Berdasarkan data yang dirilis Wetlands International, antara 1 Januari dan 11 Oktober 2015, 50% dari semua bencana titik api terjadi di lahan gambut yang  diidentifikasi berada di perkebunan berafiliasi dengan APP. 

Dalam konsesi APP di Pulau Sumatera, diperkirakan 293.000 ha terbakar pada tahun 2015, termasuk 86.000 hektar pohon Akasia yang ditanam (26% dari luas tanaman di provinsi). Kebakaran sehingga berdampak langsung pada basis pasokan serat aktif untuk pabrik pulp, mengurangi kelayakan ekonomi.
Pembakaran lahan gambut di Kalimantan, Indonesia.

Wetlands International menyerukan Strategi Lahan Gambut Nasional untuk mengekang bencana kabut masa depan. Pemerintah telah mengambil tindakan signifikan termasuk pembentukan Pemulihan Badan Lahan Gambut nasional. Seperti APP sampai saat ini masih memperluas dan meningkatkan ketergantunganya pada penggunaan berkelanjutan dari lahan gambut.

Ancaman 
Akibat lahan gambut yang dikeringkan oleh perkebunan akasia, ternyata lahan gambut sebagai gudang karbon yang berkembang selama ribuan tahun, menjadi sumber aktif CO2. Subsidence yang dihasilkan dari emisi karbon membawa tanah gambut turun ke tingkat di mana drainase tidak mungkin lagi. 

Setiap tahunya telah terjadi penurunan 3- 5 akibat pemadatan awal yang cepat dari 75 cm pada tahun pertama. Seperti di semenanjung Kampar Riau Indonesia, di mana APP memiliki banyak perkebunan, telah menunjukkan bahwa dalam 25 tahun ke depan hampir 25% dari perkebunan Akasia akan mengalami banjir berkepanjangan dan 67% akan memiliki masalah drainase yang signifikan - berdampak pada produktivitas.

Dimana APP telah mengembangkan sebagian besar perkebunan untuk pabrik baru, subsidence dapat menyebabkan banjir dalam waktu 16 tahun untuk 2 m dalam gambut dan 36 tahun untuk 3 m dalam gambut. Hal ini akan mengurangi kelangsungan hidup tanaman dan mengurangi kelayakan ekonomi dari pabrik pulp yang direncanakan. 
Jutaan hektar lahan gambut di Indonesia sedang dikeringkan untuk Akasia dan kelapa sawit, dan akan mengalami penurunan ireversibel, banjir terkait dan kehilangan produksi. Dampak ini akan menjadi bencana bagi kelangsungan hidup perkebunan, untuk masyarakat setempat dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Sangat disayangkan operasional perluasan perusahaan bubur kertas APP yang terus merasa kekurangan serat untuk pabriknya yang beroperasi di Riau. Untuk menghindari risiko deforestasi dan peningkatan emisi gas rumah kaca dari drainase, pemerintah Indonesia dan sektor swasta perlu mempertimbangkan penggunaan lahan gambut berbasis drainase, seperti pulp Akasia dan konsesi minyak kelapa sawit, demi rencana restorasi lahan gambut, termasuk pentahapan dalam tanaman alternatif yang disesuaikan dengan tumbuh di lahan gambut basah (dikenal sebagai paludiculture). [marcel.silvius@wetlands.org]

Wetlands International
P.O. Box 471, 6700AL Wageningen, The Netherlands

Berita Lainnya

Index