Efek Emisi Rumah Kaca, Suhu di Indonesia Naik 1,3 Derajat Celcius

Efek Emisi Rumah Kaca, Suhu di Indonesia Naik 1,3 Derajat Celcius

Metroterkini.com - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa suhu udara permukaan di Indonesia diproyeksikan akan terus naik sebesar 1,3 derajat Celcius sebagai dampak dari perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca.

"Kenaikan suhu diproyeksikan semakin meningkat hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam periode 2020-2049, bisa mencapai 1,3 derajat Celcius dibandingkan suhu rata-rata tahunan periode sebelumnya selama 1976-2005 sebagai baseline-nya," kata Dwikorita saat memberikan sambutan secara daring di Jakarta, Rabu.

Sambutan disampaikan Dwikorita untuk seminar nasional bertema "Perspektif Daerah: Rekomendasi Penanganan Perubahan Iklim untuk Pemerintah Mendatang" diselenggarakan di Jakarta oleh BMKG bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Insitut Hijau Indonesia, dan para akademisi dari universitas negeri.

Dwikorita mengingatkan pentingnya melakukan mitigasi untuk menekan laju kenaikan suhu di Indonesia demi kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

"Proyeksi suhu maksimum hampir di seluruh pulau besar di Indonesia hingga akhir abad ke-20 (tahun 2100), naiknya bisa mencapai 3,5 derajat Celcius bila kita tetap menjalankan bisnis seperti biasa tanpa ada mitigasi laju kenaikan suhu. Namun, bila ada mitigasi, maka diproyeksikan kenaikan suhu tidak akan melampaui 1,5 derajat Celcius," paparnya.

Ia mengemukakan BMKG selama ini telah berupaya untuk mengatasi kenaikan suhu udara tersebut melalui kebijakan klimatologi dan peran literasi iklim komunitas untuk mendukung adaptasi dan mitigasi global.

"BMKG bukan sebatas penyedia data, tetapi juga melakukan analisis dan proyeksi, dan memiliki informasi, pengetahuan, serta wisdom (kebijakan) terkait perubahan iklim di Indonesia serta wilayah sekitarnya yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan nasional," tuturnya.

Informasi dan pengetahuan tersebut, sambung dia, diharapkan dapat mendukung aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim oleh berbagai sektor terkait, yang tentu juga melibatkan BMKG.

Menurut Undang-Undang nomor 31 tahun 2009, tugas BMKG adalah memberikan informasi dan peringatan dini terkait cuaca, iklim, gelombang tinggi, dan tsunami.

Sayangnya, menurut Dwikorita, saat ini masih ada batasan atau gap antara teknologi yang semakin canggih, dengan masyarakat yang belum bisa memahami teknologi tersebut dengan baik.

"Gap-nya adalah bagaimana membuat teknologi yang canggih itu mudah dipahami masyarakat. Oleh karena itu, kami mengembangkan rekayasa sosial untuk memastikan efektivitas informasi yang disebarkan bisa berdampak kepada masyarakat, agar masyarakat mampu melakukan early actions atau respons yang tepat dari peringatan dini yang diberikan BMKG," kata dia.

Ia juga menekankan pentingnya kerja sama antara BMKG dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga riset, dan berbagai kelompok yang ada.

"Kerja sama dan kolaborasi itu kita lakukan melalui literasi iklim yang melibatkan generasi Z dan milenial lintas kelompok, juga melalui sekolah lapang iklim untuk para petani dan nelayan, serta berbagai pihak terkait," ujar dia. **

Berita Lainnya

Index