Metroterkini.com - Banyak negara memakai media sosial untuk tujuan politis, termasuk menekan oposisi hingga memecah belah warga. Ada pasukan siber (cyber troops) atau buzzer yang beroperasi melaksanakan misi tersebut.
Penelitian itu bertajuk 'The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation' atau 'Orde Disinformasi Global: Informasi Global tentang Manipulasi Media Sosial Terorganisir 2019'. Penelitian ini adalah karya Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari Universitas Oxford.
Dilansir dari situs resmi Oxford Internet Institute, Jumat (4/10/2019), penelitian ini mengamati manipulasi medsos oleh pemerintah dan partai politik. Pengamatan dilakukan terhadap 70 negara, termasuk Indonesia.
"Di seluruh dunia, aktor-aktor pemerintah menggunakan media sosial untuk membikin konsensus, mengotomatisasikan tekanan, dan menghancurkan kepercayaan dalam aturan internasional liberal," tulis penelitian itu.
Dalam dua tahun terakhir, terjadi peningkatan 150% penggunaan manipulasi sosial media di banyak negara. Tujuan manipulasi medsos itu adalah menekan hak dasar manusia, mendiskreditkan oposisi politik, dan membenamkan pendapat yang berlawanan. Kenyataan ini membuat media sosial dikritisi.
Ada pasukan siber atau buzzer yang menjadi ujung tombak operasi manipulasi medsos ini. Pasukan siber adalah aktor-aktor pihak pemerintah atau politik yang ditugaskan untuk memanipulasi opini publik secara daring.
Bila dirata-rata dari 70 negara yang menjadi objek penelitian, Facebook masih menjadi medan laga yang dominan digunakan pasukan siber. Soalnya, Facebook punya kelebihan dalam menjangkau kerabat dekat dan pertemanan, menjadi sumber kabar politik, dan punya kemampuan membentuk grup.
Penelitian ini dilakukan dengan metodologi analisis konten berita yang dipakai pasukan siber, ulasan literatur, penyusunan studi kasus, dan konsultasi ahli. Peneliti juga bekerjasama denga BBC.
70 Negara yang diteliti adalah Angola, Argentina, Armenia, Australia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Bosnia dan Herzegovina, Brazil, Cambodia, China, Colombia, Croatia, Cuba, Czech Republic, Ecuador, Egypt, Eritrea, Ethiopia, Georgia, Germany, Greece, Honduras, Guatemala, Hungary, India, Indonesia, Iran, Israel, Italy, Kazakhstan, Kenya, Kyrgyzstan, Macedonia, Malaysia, Malta, Mexico, Moldova, Myanmar, Netherlands, Nigeria, North Korea, Pakistan, Philippines, Poland, Qatar, Russia, Rwanda, Saudi Arabia, Serbia, South Africa, South Korea, Spain, Sri Lanka, Sweden, Syria, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Tunisia, Turkey, Ukraine, United Arab Emirates, United Kingdom, United States, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, and Zimbabwe.
Penelitian ini menyebut soal teknik manipulasi data yang diterapkan pada 70 negara itu.
- 87% Negara menggunakan akun manusia, 80% negara menggunakan akun bot,
- 11% negara menggunakan akun cyborg (akun otomatis yang dikurasi manusia)
- 7% negara menggunakan akun curian atau retasan.
Pasukan siber yang memanipulasi medsos itu juga punya pesan dan daya tarik yang mereka bawa, berikut persentasenya: - 71% menyebarkan propaganda pro-pemerintah dan pro-partai :
- 89% menggunakan propaganda komputasional untuk menyerang oposisi politik
- 34% menyebarkan pesan memecah belah masyarakat
Strategi komunikasi yang diterapkan dalam manipulasi medsos ada macam-macam, dari memproduksi meme, video, situs berita palsu, hingga memanipulasi media hingga membingungkan pembaca.
Dari 70 negara, ada 27 negara yang menggunakan troll (akun pemancing emosi) yang disponsori negara untuk menyerang oposisi dan aktivis via medsos. 47 Negara menggunakan trolling sebagai bagian dari persenjataan digital.
Macam-macam strategi komunikasi manipulasi medsos yakni pembuatan media yang telah dimanipulasi atau disinformasi, pelaporan massal atas konten atau akun, strategi berdasarkan data, trolling, doxing, dan pelecehan.
Berikut adalah temuan terkait strategi manipulasi medsos di 70 negara:
75% negara menggunakan disinformasi dan manipulasi media untuk menyesatkan publik
68% negara menggunakan trolling yang disponsori negara untuk menyasar lawan politik, oposisi, dan jurnalis
73% menguatkan pesan dan konten lewat penggunaan tagar
Soal kapasitas pasukan siber, ada yang rendah dan ada yang tinggi. Pasukan siber berkapasitas rendah adalah tim yang baru terbentuk dengan sumber daya dan platform minimal, hanya satu atau dua politikus yang terlibat dalam operasi domestik. Pasukan siber berkapasitas rendah yakni timnya dibentuk saat pemilu atau referendum saja, strategi yang diterapkan adalah penggunaan bot untuk menyebarkan disinformasi.
Pasukan siber kapasitas medium punya strategi yang konsisten dan mempekerjakan karyawan tetap. Pasukan siber berkapasitas tinggi berarti punya banyak staf dan anggaran yang besar, mereka bekerja tidak hanya pada saat pemilu saja.
Penelitian ini menyebut pemerintahan China menjadi pemain utama dalam hal penerapan disinformasi global. Propaganda China terkiat protes Hong Kong pada 2019 terjadi lewat platform domestik seperti Weibo, WeChat, dan QQ. Namun China juga punya ketertarikan baru ke arah penggunaan Facebook, Twitter, dan YouTube. Ini harus ditanggapi dengan peningkatan perhatian terhadap demokrasi.
"Media sosial yang pernah disanjung sebagai kekuatan kebebasan dan demokrasi kini dikritisi karena perannya yang mengamplifikasi disinformasi, menghasut kekerasan, dan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap media dan institusi demokrasi," demikian kata penelitian tersebut. [dtk-mer]