Ilog Ditumpas, Pengrajin Peti Mati Gunakan Kayu Nangka

Ilog Ditumpas, Pengrajin Peti Mati Gunakan Kayu Nangka
Usaha Peti Mati

Metroterkini.com - Pemberantasan ilog belakang beberapa tahun terakhir terus dilakukan. Hal itu dirasakan warga di daerah yang selama ini masih menggantung hidup dari kayu alam, termasuk pengrajin peti mati bagi warga Tioghoa seperti di Kabupaten Kepulauan Meranti Riau.

Seperti khususnya di kota Selatpanjang kecamatan Tebing Tinggi mengeluh akibat mereka sulit memperoleh bahan baku kayu alam untuk di kelola menjadi berbagai kebutuhan material bangunan dan lainya, terutama peti mayat.

“Kami orang awam yang dahulunya sehari-hari bekerja sebagai penebang kayu, sangat merasakan pengaruhnya sejak diterapkan aturan oleh pemerintah," ujar Syamsul Ahmad, warga Meranti yang sehari-hari mencari kayu untuk memenuhi kebutuhan hidup anak istrinya itu.

Sejak ditetapkan UU No 41 Tahun 1999, setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan, termasuk menebang, memanen dan menjual hasil hutan yang bisa menyebabkan kerusakan ekosistem. Hal itu setidaknya mempengarugi mata pencaharian warga yang selama ini mencari kayu di hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu alam untuk kebutuhan rumah tangga warga.

"Kami masyarakat kecil ini meminta pemerintah daerah kabupaten Kepulauan Meranti dan jajarannya, sekiranya dapat mencarikan solusi terbaik demi kelangsungan hidup kami di masa datang. Kalau memang dilarang menebang kayu, kemana kami mau cari pekerjaan, atau kami memenuhi kebutuhan kayu untuk perumahan," tuturnya Syamsul.

Sementara itu Salah seorang pengusaha pembuatan peti mati yang berdomisili di kota Selatpanjang, Ahad (20/5/2017) juga mengeluh, sejak ditetapkan ilog tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan konsumen.

"Selama ini, Kami membuat peti mati dari kayu alam yang di beli dari masyarakat. Tapi sekarang ini, kami tidak lagi membuat peti mati berbahan baku kayu alam. Sebab kayu alam selain sulit didapat, kalaupun ada yang jual harganya tidak terbeli sebab sangat mahal sekali".

Sebagai penggantinya, pengrajin membuat peti mati dari kayu lapis atau triplek selain harganya lebih murah dan materialnya banyak tersedia di toko bangunan."Kayu batang Durian atau pohon Nangka sebagai gantinya untuk membuat peti mati," tambah Aguan.

Sejak sulitnya memperoleh kayu alama, harga juga selangit. Di sekitar kota Selat Panjang, untuk harga papan sekitar Rp 40-45 ribu per kepingnya, jika sebelumnya hanya Rp 28-30 ribu.

Bagi warga lokal, kebutuhan kayu alam ini untuk membuat jembatan, rumah termasuk rumah ibadah, hingga untuk peti orang meninggal. Kondisi alam di Kepulauan Meranti bangunan masih tergantung pada kayu karena daerahnya yang berada di dataran rendah/rawa, sehingga warga membangun rumah panggung/kayu. [def]

Berita Lainnya

Index