Metroterkini.com - Indonesia merupakan negara yang masuk lima besar dunia sebagai produsen tembakau. Kendati demikian, Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan tembakau dalam negeri. Indonesia masih mengimpor tembakau hingga mencapai ratusan ribu ton setiap tahun.
"Dalam lima tahun terakhir, rata-rata produksi tembakau dalam negeri selalu di bawah 200 ribu ton. Sementara permintaan tembakau berkisar 320 ribu ton per tahun. Jadi masih ada kekurangan rata- rata 120 ribu ton," kata Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communication PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), Elvira Lianita kepada wartawan dalam media visit ke sejumlah petani tembakau di Jember, Minggu (31/7/16).
Menurut Elvira, kekurangan pasokan tembakau dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Di antaranya, keterbatasan modal, teknik pertanian yang tidak efisien dan kurangnya dukungan teknis dan infrastruktur pertanian. Ditambah lagi, minimnya akses pasar secara langsung oleh petani, sehingga mengurangi keuntungan yang diterima petani.
"Praktik pertanian yang masih tradisional, kurangnya dukungan infrastruktur yang memadai, kondisi iklim yang tidak menentu, hingga sistem tata niaga yang tidak efisien, menjadi penyebab utama masih kurang maksimalnya produktivitas tembakau dalam negeri," terangnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, dalam beberapa tahun terakhir, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) telah melakukan kemitraan dengan sejumlah petani tembakau yang ada di Indonesia. Program kemitraan ini diberi nama Integrated Production System (IPS), atau yang lebih dikenal dengan Sistem Produksi Terintegrasi.
IPS dijalankan melalui kontrak kerja sama, di mana para petani mendapatkan pendampingan pertanian, akses permodalan, sarana dan prasarana permodalan, serta jaminan akses pasar. Mereka juga mendapat informasi dan bimbingan mengenai praktik pertanian tembakau yang baik.
"IPS didasari oleh prinsip saling menguntungkan. Melalui program ini, Sampoerna sebagai perusahaan bisa mendapatkan jaminan pasokan tembakau yang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang diinginkan. Sementara para petani juga mendapat jaminan bahwa tembakau yang mereka tanam akan diserap seluruhnya dan akan dibayarkan dengan harga yang disepakati," terang Elvira.
Program IPS ini, lanjut Elvira, telah dijalankan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) sejak tahun 2009 di beberapa sentra penanaman tembakau, termasuk di Jember. Sampai saat ini, sekitar 27 ribu petani telah bergabung dalam sistem IPS untuk menggarap lahan tembakau seluas lebih dari 22 ribu hektar.
"Pembelian daun tembakau juga meningkat secara signifikan, di mana 12 persen pada tahun 2011, menjadi 70 persen pada tahun 2015," kata Elvira.
Salah seorang petani tembakau asal desa/kecamatan Sukowono, Jember, Sunaryo, mengaku sangat terbantu dengan program IPS tersebut. Dengan bergabung dalam program kemitraan ini, dia mendapatkan sejumlah keuntungan. Terutama adalah dalam permodalan dan pendampingan.
"Kita jadi bisa tahu bagaimanan menanam tembakau dengan cara modern yang lebih efektif dan efisien. Efektif dari sisi waktu dan efisien dari segi modal yang harus dikeluarkan. Hasilnya bisa melebihi dari sebelumnya," katanya.
Menurut Sunaryo, sebelum bermitra dengan Sampoerna, biasanya dia hanya mampu menghasilkan tembakau 1 ton dalam setiap hektar. Setelah bermitra, hasil tembakaunya bisa meningkat menjadi 1,5 ton setiap hektar.
"Bahkan pernah mencapai 2 ton," tambahnya.
Yang lebih membuatnya tenang, adalah adanya jaminan pembelian hasil tembakau, sehingga tidak lagi menjadi korban para tengkulak yang biasanya membeli dengan harga murah.
"Contohnya waktu ada bencana Gunung Raung, banyak yang pedagang atau perusahaan yang tidak mau membeli tembakau petani karena terkena abu Gunung Raung. Tapi punya saya tetap dibeli Sampoerna karena sebelumnya sudah bermitra," pungkasnya. [dtf]