Metroterkini.com - Rencana Kebijakan Kementerian Perdagangan untuk melakukan import beras sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam, Thailand, Myanmar, di perkuat pernyataan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu saat di Dubai, sangat disesalkan dan harus dilawan.
Pasalnya kebijakan ini sangat kontradiktif dengan semangat "nawacita" slogan Presiden Jokowi, yang berbanding terbalik dengan kebijakan Menteri Pertanian untuk mewujudkan "swasembada beras".
"Kami sinyalir kebijakan ini hanya titipan para pengusaha mafia importir beras yang mengambil keuntungan di balik kebijakan ini, serta kebijakan ini melemahkan psikologi petani kita, juga semangat menteri pertanian untuk mewujukan swasembada beras nasional," kata Andi Awal Mangantarang dan Front Gerakan Aktivis Indonesia, Kamis (16/10).
Menyikapi hal itu , aktivis FRAKSI (Front Gerakan aktivis Indonesia), mendesak Komisi IV DPR-RI memanggil Menteri Perdagangan untuk mengklarifikasi terkait kebijakan tersebut, sungguh issue import beras ini sudah memukul semangat dan mental para petani.
"Kita di tengan pembangunan kita di bidang pangan dan pertanian sepertinya Presiden Jokowi salah mengangkat menteri perdagangan yang otaknya hanya otak Import. Lagi pula ini justru berdampak dari buruknya akurasi pada kredibilitas kebijakan, tetapi jauh sampai pada kesejahteraan petani dan masyarakat umum," tambah Andi.
Rencana impor beras 1,5 juta ton dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar pada akhir tahun ini adalah satu lagi bukti inkonsistensi Pemerintah dalam hal Kementerian Perdagangan terkait kebijakan perberasan nasional.
Apa pun alasannya, menurut Andi kredibilitas kebijakan pemerintah telah dipertaruhkan walaupun anggaran Kementerian Pertanian pada 2015 telah ditambah dua kali lipat menjadi Rp 32,7 triliun.
Tambahnya, anggaran sebanyak itu untuk rehabilitasi jaringan irigasi tersier 1,1 juta hektar lahan (Rp 1,32 triliun), pengadaan benih untuk 12.000 hektar lahan tebu (Rp 1,18 triliun), bantuan pupuk untuk 3,6 juta hektar padi dan jagung (Rp 2,33 triliun), dan lain-lain.
Selain itu rehabilitasi jaringan irigasi serta pencetakan sawah baru dan ekspansi areal panen di luar Jawa seharusnya mendapat prioritas apabila aspek resiliensi, mitigasi risiko, dan pemerataan pembangunan dijadikan pertimbangan.
Hal itu menurutnya yang perlu dicatat adalah bahwa pada keadaan normal, tambahan anggaran untuk investasi di infrastruktur dan proyek fisik lain baru akan memperlihatkan hasil pada tahun ketiga.
"Beberapa waktu lalu kami sering mengkritik keraskebijakan Kementa, tapi kali ini kami harus objektif memberikan apresiasi bahwa ada semangat untuk mau berusaha dan bekerja mewujudkan "Swasembada Beras Nasional", Tetapi Justru Kementerian Perdagangan mereduksi dengan adanya hal-hal seperti ini, jadi dengan ini kami pula mendesak Presiden Jokowi mengevaluasi Menterinya, dalam hal ini menteri perdagangan," tambahnya.
Menurutnya lagi, rencana impor beras perlu dilihat sebagai alternatif terakhir dan bukan sebagai rutinitas kebijakan, apalagi sampai terjadi adiksi. Fenomena ketergantungan impor kedelai seharusnya dijadikan pelajaran amat berharga bahwa suatu sistem produksi yang mapan pun dapat roboh dan rusak hanya karena godaan harga murah kedelai impor dari Amerika Serikat. Kesejahteraan petani Indonesia dan masyarakat umum tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada pasar pangan global, apalagi pasar yang terdistorsi. [**]